SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Friendship is not a lesson you can learn in the school. But you have not learned anything if you haven't learned the meaning of friendship. (Shufi Salsabila)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Pendidikan merupakan hiasan kemakmuran serta tempat perlindungan dalam kesulitan. (Aristoteles)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri. (JOHN DEWEY)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Pendidikan mempunyai akar yang pahit tapi buahnya manis. (Aristoteles)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Di depan memberi teladan,Di tengah memberi bimbingan, Di belakang memberi dorongan. (Ki. Hajar Dewantara)

Monday, August 30, 2021

Bagaimana Jika Aku Mencintaimu

 Bagaimana Jika Aku Mencintaimu

Karya : Rosnafisah Setyani


Jika aku menyatakan perasaanku padamu

Apakah kau akan membenciku?

Apakah perasaan itu akan terbalaskan olehmu?

Apakah perasaan itu salah, jika aku nyatakan padamu?


Begitu banyak pertanyaan yang terabaikan

Seperti layaknya luka

Jika perasaan ini tidak aku nyatakan

Luka ini akan infeksi dan menghadirkan luka


Kamu adalah ketidakmungkinan yang aku paksakan

Begitu jauh tak dapat tergapai

Karena kamu adalah harapan yang tak dapat tercapai

Yang sangat aku inginkan


Aku sadar diri ini tak sempurna dirimu

Tak seindah apa yang kamu harapkan

Keegoisan ku membawaku padamu

Membungkus cinta yang tak pernah terbalaskan

»»  Baca Selengkapnya...

Pulang

 Pulang

By : A


Hingga saat ini yang kulihat dan genggam hanya potret usang berdebu           Mengisahkan banyak memori yang merenggut kesadaranku di balik selimut usang tak bertuan Kesendirian seperti kalimat mimpi buruk tanpa akhir hanya ada dersik yang menyentuh diri hingga ke relung sukma

Katamu potret hal yang mampu meredakan jiwa menggebu ingin bertemu namun pada kenyataannya potretmu hanya membawa rindu dan luka tak berujung                                         

Di kolong langit setiap malam meratapi bayangan hadirmu yang merusak separuh warasku

Bayangmu menjejal sampai ke inti alam bawah sadarku  Hingga sampai ke titik 0 kewarasanku,bisakah engkau sekali saja pulang?        Merindukanmu adalah hal yang tak mampu aku tanggung sendirian,bisakah? Bisakah bergabung bersamaku menepis kesunyian malam ini,sekali saja hingga lelapku bukan lagi menjadi hal yang melelahkan.

»»  Baca Selengkapnya...

Presiden Berbicara Angin

 Presiden Berbicara Angin

oleh Aldo Pratama Putra


Ketika membaca judul tulisan ini, apa yang anda pikirkan? Apakah anda berpikir bahwa Presiden membicarakan bencana angin kencang? Atau apakah anda berpikir bahwa Presiden membicarakan arah angin? Tentu akan ada banyak pemikiran dan pemahaman yang ada dibenak pembaca ketika melihat judul dari tulisan ini. Namun yang dimaksud oleh penulis mengenai “Presiden Berbicara Angin” adalah pernyataan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, beberapa bentuknya menyerupai angin, tidak bisa dipegang. Benar, pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini dipertanyakan konsistensi dan pengaruhnya. Hal ini dikarenakan beberapa pernyataan beliau tidak sesuai dengan realita yang sebenarnya. Penulis akan menjabarkan beberapa pernyataan yang dimaksud ini.

Pertama, pernyataan Presiden mengenai Tes Wawasan Kebangsaan KPK. Pada saat itu, tes ini menjadi buah bibir masyarakat luas. Hal ini dikarenakan banyak pegawai KPK yang tidak lolos tes saat itu memberikan keterangan bahwa tes yang dilakukan kepada mereka terlihat tidak relevan karena beberapa pertanyaan yang ada dalam tes tersebut menunjukkan kejanggalan dan lebih terlihat aneh oleh pegawai-pegawai KPK. Kemudian Tes Wawasan Kebangsaan ini digunakan sebagai tolak ukur keberlanjutan status kepegawaian dari pegawai-pegawai KPK. Muncul asumsi di masyarakat bahwa Tes Wawasan Kebangsaan ini hanyalah alat untuk mengeluarkan pegawai-pegawai KPK sekaligus upaya melemahkan KPK. Tidak lama berselang, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataannya mengenai Tes Wawasan Kebangsaan KPK ini. Presiden menyampaikan pernyataannya melalui laman Youtube Sekretariat Presiden pada Senin, 17 Mei 2021 yang dikutip, “Hasil Tes Wawasan Kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK, dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes.” Pernyataan ini tentu menjadi angin segar masyarakat yang khawatir terhadap upaya pelemahan KPK. Namun beberapa hari berselang setelah pernyataan Presiden tersebut, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, melakukan keterangan persnya pada 25 Mei 2021 yang dikutip melalui siaran Kompas TV, menyatakan bahwa sebanyak 51 pegawai KPK yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan tidak bisa dilakukan pembinaan lebih lanjut berdasarkan penilaian asesor dan tidak bisa bergabung dengan KPK. Pemecatan ini tentu berlainan dengan pernyataan Presiden. Yang amat disayangkan pula bahwa Presiden tidak mengeluarkan pernyataan lebih lanjut mengenai kejadian ini yang akhirnya menunjukan bahwa pernyataan Presiden tidak sesuai dengan realita yang terjadi.

Tidak hanya mengenai Test Wawasan Kebangsaan, pernyataan Presiden mengenai larangan rangkap jabatan juga menuai pertanyaan mengenai konsistensi pernyataannya. Pada 21 Oktober 2014 yang dikutip melalui Antara TV Indonesia pada laman Youtubenya, Presiden menyatakan langsung bahwa tidak diperbolehkan rangkap jabatan. Presiden Joko Widodo berujar “Tidak boleh rangkap-rangkap jabatan. Kerja di satu tempat saja belum tentu benar, kok.” Namun nyatanya, Presiden Joko Widodo secara tidak langsung mengizinkan praktik rangkap jabatan melalui pengesahan PP No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Hal ini sebelumnya dipicu oleh adanya rangkap jabatan yang dilakukan oleh Rektor UI, Ari Kuncoro, yang juga menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama BRI. Padahal dalam peraturannya, Rektor dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat perusahaan BUMN dan BUMD. PP No. 75 Tahun 2021 merevisi PP No. 68 Tahun 2013 yang menyebutkan bahwa Rektor dan Wakil Rektor UI tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai pejabat perusahaan BUMN atau BUMD. PP No. 75 tahun 2021 terdapat revisi bahwa Rektor dan Wakil Rektor dilarang merangkap jabatan sebagai direksi pada perusahaan BUMN atau BUMD. Tidak terdapat lagi larangan mengenai rangkap jabatan sebagai pejabat BUMN atau BUMD seperti jajaran Komisaris.

Hal ini tentu menimbulkan anggapan bahwa beberapa pernyataan Presiden Joko Widodo tidak memiliki konsistensi dan tidak sesuai dengan realita yang akan terjadi ataupun sedang terjadi dan ditambah Presiden tidak mengeluarkan pernyataan sikap lanjutan baik melalui dirinya langsung maupun melalui Juru Bicara atau Staf Kepresidenannya mengenai polemik yang terjadi sehingga kepercayaan masyarakat mengenai pernyataan selanjutnya yang akan dikeluarkan Presiden akan dipertanyakan. Selanjutnya juga merupakan hal yang wajar jika masyarakat memprotes mengenai hal tersebut. Bentuk protes ini salah satunya dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia yang menjuluki Presiden Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service” karena penyataannya yang tidak konsisten dan tidak sesuai memang mengindikasikan bahwa dirinya hanya melakukan retorika semata melalui pendapat Presiden itu sendiri. Bentuk protes ini seharusnya menyadarkan Presiden bahwa beberapa pernyataannya dipertanyakan masyarakat.

Jika menilik alasan yang menyebabkan pernyataan Presiden tidak sesuai dengan realita dan tidak konsisten, penulis dapat merumuskan prediksi-prediksinya. Kemungkinan pertama mengenai penyebab hal tersebut yaitu mungkin pernyataan Presiden tersebut digunakan hanya untuk meredakan perdebatan dan ketegangan yang ada di masyarakat secara sementara. Presiden berupaya mengontrol kondisi awal masyarakat mengenai suatu polemik melalui pernyataannya hingga timbul suatu keputusan tertentu, Presiden melepas kontrol tersebut begitu saja. Kemungkinan selanjutnya bahwa Presiden memiliki sikap yang sangat terbuka mengenai perubahan. Ketika diawal mengeluarkan suatu pernyataan tertentu berpendapat A, kemudian setelah dipertimbangkan dan melihat kondisi yang ada, ia berubah pandangan menjadi B. Keterbukaan mengenai perubahan ini tentunya harus dijelaskan pula kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak kebingungan mengenai pernyataan mana yang masih sesuai dengan kehendak Presiden. Kemungkinan selanjutnya karena Presiden Joko Widodo adalah bukan merupakan seorang ketua umum partai, kehendaknya masih sangat dipengaruhi oleh arahan dan masukkan dari petinggi-petinggi partainya. Yang harus digarisbawahi ialah semua kemungkinan dan prediksi tersebut belum tentu benar. Hanya Presiden Joko Widodo yang dapat mengutarakan penyebab sesungguhnya mengenai ketidaksesuaian dan ketidakkonsistenan pernyataannya selama ini.

»»  Baca Selengkapnya...

“MASA DEPAN KONSTITUSI: EMAS DENGAN INTEGRITAS ATAU LEMAH KARENA KEPENTINGAN”

"MASA DEPAN KONSTITUSI: EMAS DENGAN INTEGRITAS ATAU LEMAH KARENA KEPENTINGAN”

Oleh : Tias Cahyani Lestari

Indonesia sebagai negara hukum dan berdaulat memiliki sejarah panjang tentang konstitusi. Indonesia memiliki konstitusi sebagai dasar negara yang dijadikan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum berfungsi menjadi salah satu instrumen yang krusial dalam suatu negara dengan menjamin tegaknya keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakatnya. Negara tanpa hukum yang mengatur bagai hujan disertai badai. Kebebasan menjadi legal, orang-orang berakal dimusnahkan, kenikmatan menjadi segalanya bagi mereka yang liberalis. Miris.
Sebagai negara yang sudah diakui kemerdekaannya, segala sesuatu yang dijalankan harus sesuai dengan amanat konstitusi. Secara hierarki, hukum yang paling utama dan fundamental adalah konstitusi (Ngainnur Rohmah, 2021). Memaknai negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat), maka pemerintah harus berdasar atas hukum dan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism. Fungsi konstitusi menentukan batas-batas kekuasaan. Hal ini menjelaskan bahwa segala aktivitas negara dan pemerintah harus didasarkan pada hukum. 
Dari kacamata penulis, produk hukum yang sudah disahkan hari ini, umumnya berseberangan dengan amanat konstitusi. Mengapa? Hukum hari ini dikemas bukan atas dasar rakyat melainkan untuk kepentingan korporat. Rakyat semakin melarat, korporat tambah asik untuk menjilat. Perseteruan, aksi besar-besaran, pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat yang sudah semakin kecewa dari kepemimpinan hari ini. Harus dipahami, sebagai negara hukum, tidak hanya konstitusional pasal yang harus diuji, melainkan juga proses pembuatan undang-undang.
dari seluruh perkara pengujian formil undang-undang, belum ada satupun permohonan pengujian formil undang-undang yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Fakta ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengawasan terhadap proses legislasi. Prinsip demokrasi juga menghendaki adanya kontrol. Tidak boleh ada satu bagianpun dari sistem ketatanegaraan yang tidak bisa diawasi. 
Berbicara tentang masa depan konstitusi, tentu selalu berkaitan dengan nasib lembaga hukum kedepannya yang akan mengalami regenerasi. Kader atau penerus yang akan terlibat di dalam lembaga tersebut tentu menginginkan yang berkompeten dan memiliki kapabilitas apik. Dari keresahan milenial hari ini terhadap produk hukum yang sudah legal menimbulkan kekecewaan yang tebal. Penulis mewakali suara milenial hari ini, turut berdukacita dengan kabar reformasi dikorupsi. Rakyat memiliki harapan tebal dengan milenial hari ini yang dapat menyelamatkan suara rakyat demi keberlangsungan hidup yang baik. 
Amanat Konstitusi dalam pembukaan UUD 1945, frasa yang berbunyi “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan sebuah tujuan bangsa ini didirikan. Dengan memastikan masa depan konstitusi lebih cerah, penulis sempat berdiskusi hangat dengan salah satu mantan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Indonesia tahun 2020, Bung Fawzi Muhtadi. Dari perbincangan hangat tersebut, penulis merangkum bahwasanya milenial Indonesia perlu mengetahui tiga strategi sederhana untuk perbaikan konstitusi ke depan: 

Pertama, milenial harus mengupgrade kapabilitas diri. Mengapa? Karena bagaimanapun juga tantangan millenial kedepannya tentu bertemu dengan permasalahan kompleks dan persaingan yang ketat, sehingga memerlukan problem solving yang tepat. Masa depan konstitusi ditentukan pula dari milenialnya yang meregenerasi dalam memperbaiki iklim hukum. Integritas serta tekad yang teguh menjadi modal untuk melanjutkan visi dari konstitusi. Ciri-ciri kepemimpinan visioner yaitu menggunakan inspirasi bersama yaitu kepercayaan diri, kesadaran diri dan empati (Goleman, 2002). Mengupgrade diri sendiri, bisa dipertajam dengan membaca buku, baca berita, memiliki circle yang positif, dan menguasai 4C (Critical thinking, Colaboration, Creative, Communication). Sejatinya hal itu tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri melainkan agar menjadi manusia versi lebih baik dari sebelumnya.

Kedua, milenial perlu mengupgrade dari aspek masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa para penguasa yang saat ini duduk memangku jabatan seperti DPR, MPR, dan Presiden merupakan hasil suara yang diberikan rakyat. Maka dari itu, langkah cerdas milenial bisa bergerak dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai keresahan kepemimpinan hari ini yang membuat mayoritas masyarakat mengalami ketidakpuasan atau tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara tanpa mencampuradukkannya dengan berita bohong. Saat mengedukasi sampaikanlah faktanya. Marilah untuk lebih selektif dan cerdas dalam memilih pemimpin, dengan tidak memilih penguasa-penguasa yang memang sudah diketahui riwayat kekuasaannya karena kepentingan. Sejatinya harapan terbesar rakyat kepada pemerintah ialah tidak lain dan tidak bukan agar negara ini dapat menjalankan amanahnya sebagai negara hukum yang berkeadilan.

Ketiga, masuk ke dalam sebuah sistem. Hal ini mengingatkan penulis dengan salah satu teori psikologi sosial dari Kurt Lewin (Ginsburg, dkk, 2012) mengatakan kita tidak dapat mengubah suatu sistem jika kita tidak masuk ke dalam sistem tersebut. Jangan pernah menjadi orang yang merutupi kegelapan, dan jadilah cahaya jika kita di dalam kegelapan. Begitu juga, jika kita memiliki suatu kecintaan atau rasa cinta terhadap Indonesia, dan memiliki potensial berupa kepedulian yang tinggi terhadap nasib bangsa tentu cita-cita ini perlu diteruskan yaitu dengan masuknya milenial ke dalam sebuah pemerintahan atau sistem. Jika sudah bergabung ke dalam suatu sistem, milenial bisa memberi kontribusi berupa kebijakan yang relevan sesuai amanat konstitusi. Sebuah progres yang kecil jangan dianggap remeh, hal ini juga menjadi salah satu reminder untuk penulis, bisa dikatakan faktanya seperti inilah sistem di negara kita. Berbagai pengajuan berupa uji formil, uji materiil, judicial review, constitusional review, pada akhirnya hal ini akan menjadi percuma jika dari pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang masih memiliki sosok yang mengendalikan kekuasaan di negara ini. Mengakibatkan situasi hukum di Indonesia seperti “tajam ke bawah tumpul ke atas”.

Dari hasil perbincangan hangat bersama Bung Fawzi, meninggalkan pesan bahwa penting sekali sejak dini untuk merawat sebuah independensi yang ada di dalam diri. Masa depan negara dan konstitusi ada di tangan milenial, entah kedepannya akan emas karena integritas atau kembali lemah karena sebuah kepentingan. Pesan penulis, tetaplah bermunajat kepada Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia, agar hati kita dapat diteguhkan dan menjadi mitra kritis bagi pemerintahan yang sedang berdiri demi terciptanya optimalisasi dalam sebuah sistem. Anies Baswedan mengatakan bahwa masa depan mahasiswa tidak hanya dibuat atau dibangun hanya dengan selembar kertas ijazah, anda harus menjadi manusia baru, lebih dari sekedar peneliti, lebih dari sekedar pengajar, tetapi anda harus menjadi pemimpin di Indonesia.
in di Indonesia.

Daftar Pustaka


Amanwinata, R. (1996). Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945. Disertasi.
Ginsburg, dkk. (2012). Big Ideas Simply Explained. New York: DK Publisher.
Goleman, D. (2002). Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ngainnur Rohmah, S. (2021). Implikasi Perubahan Konstitusi 1945-1959 Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia. Jurnal Sosial dan Budaya Syar'i, 8(1).

»»  Baca Selengkapnya...

Catatan Harapan

 Catatan Harapan

Oleh Peni Pinandhita


Untuk kalian, penakluk cakrawala di masa mendatang.

bangkitlah, ketika mentari menyapa.

langkahkan kaki menuju tempat merangkai asa.

dan bersiaplah untuk hari penuh warna


ku tahu, ada saat dimana kamu merasa lelah.

namun percayalah, tak pantasnya kamu menyerah.


belajar bukan sebuah tuntutan.

belajar adalah sebuah perjalanan.

perjalanan yang melelahkan namun menjanjikan keindahan.


membaca, mudah diungkapkan.

namun agaknya sulit dilakukan,

jika jiwa ragamu telah menyadari betapa sulit berjuang di hari mendatang,

maka percayalah, hari ini kau tak akan terus menerus diam.

sebenarnya, hanya ribuan alasan yang membuat kamu tak mampu melalukan.

mulailah mengukir langkah agar hidup kian terarah.

mulailah berbenah , agar dimasa depan tak menjadi bedebah.


inilah cara Tuhan menjadikanmu sebagai seorang manusia yang penuh makna.

bukan menjadi manusia yang hanya banyak kata.


Dan tetaplah percaya, akan indah pada waktunya.

»»  Baca Selengkapnya...

Salah Tanggap Kritik Mural

 Salah Tanggap Kritik Mural

oleh Aldo Pratama Putra


Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang besar pada masyarakat. Kondisi yang memburuk yang ditandai dengan mulai naiknya kasus positif dengan skala yang tinggi dan pasien yang meninggal dunia karena Covid-19 yang signifikan membuat pemerintah harus menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Durasi PPKM yang cukup lama dan tidak merata serta tidak mencukupinya bantuan sosial dari pemerintah membuat masyarakat mulai mengekspresikan kekecewaan mereka pada pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. Ekspresi kekecewaan tersebut diwujudkan melalui mural-mural oleh para seniman. Pada abad 17 M ketika era seni modern muncul yang ciri utamanya merupakan kebebasan berekspresi tanpa terikat oleh ikatan-ikatan tertentu, seniman bebas menggunakan media dan visualisasi apapun termasuk turun ke jalan-jalan mengisi ruang-ruang publik dengan media dan pencitraan visual. Mayoritas kegunaan seni lukis mural di ruang publik ini ialah pada kepentingan publik. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk yang seringkali menjadi topik utama dalam seni mural jalanan atau street art.

Dari berbagai mural tersebut, terdapat satu mural yang menarik perhatian publik. Mural tersebut berada di daerah Tigaraksa, Banten, yang bertuliskan “Tuhan, Aku Lapar”. Mural tersebut kemudian ramai menjadi perbincangan di media sosial hingga pihak Kepolisian entah apa alasannya merespons kritik tersebut dengan menutup mural tersebut dengan dicat ulang. Kemudian polisi mencari seniman yang menggambar mural tersebut untuk memberikan bantuan sosial. Fenomena ini cukup menarik dibahas terlebih dengan keikutsertaan polisi dalam menanggapi kritik ini. Kritik “Tuhan, Aku Lapar” seharusnya memiliki makna yang tidak sesempit adanya seseorang yang memiliki keahlian seni lukis mural dan dalam kondisi kelaparan memberikan tanda bahwa dirinya sedang kelaparan dalam bentuk seni mural. Mural tersebut adalah kritik sosial bahwa banyak penghasilan masyarakat yang terdampak dengan pemberlakuan PPKM. Jika ditilik lebih jauh, pemberian bantuan sosial juga sebenarnya bukan tugas dari kepolisian, hal itu merupakan tugas dari elemen-elemen pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.

Mural “Tuhan, Aku Lapar” ini memantik inisiasi seniman-seniman lain untuk melakukan hal yang sama sebagai bentuk kritik sosial mereka. Tak lama berselang, muncul kembali mural di Tangerang, Banten, yang dalam mural tersebut terdapat seseorang yang terlihat mirip seperti Presiden Joko Widodo dan di bagian mata ditutupi oleh tulisan “404 Not Found” yang kemudian ramai menjadi pembincaraan masyarakat di media sosial. Kali ini, polisi kembali berpartisipasi untuk merespons kritik ini dengan menutup mural tersebut dan mencari seniman yang melukis mural tersebut. Kemudian di Tuban, Jawa Timur, terdapat seseorang yang merasa kagum dengan mural tersebut dan berinisiatif mencetak mural tersebut di kaus. Kepolisian Polres Tuban merespon dengan menangkap orang tersebut yang berakhir dengan permintaan maaf dirinya, dengan dalih bahwa yang telah dilakukan oleh orang tersebut merupakan penghinaan terhadap Presiden sebagai simbol negara serta panglima tertinggi kepolisian karena dalam gambar tersebut terdapat gambar Presiden Joko Widodo yang matanya ditutup dengan tulisan yang sama dengan mural di Tangerang yang juga sedang dicari polisi dengan alasan yang sama, penghinaan simbol negara serta panglima tertinggi kepolisian. Hal ini dikritik keras oleh berbagai kalangan bahwa Presiden bukan merupakan simbol negara.

Jika merujuk pada KBBI, kata “simbol” ialah nomina dari kata “lambang” yang maknanya ialah sesuatu seperti tanda yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Kemudian berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Presiden tidak termasuk dalam Lambang Negara. Hal ini tentu menampik anggapan bahwa adanya unsur pidana dalam mural tersebut. Jika mural tersebut merupakan bentuk penghinaan, Presiden Joko Widodo yang merupakan pihak yang merasa diihina dalam mural ini harus mengajukan laporan ke penegak hukum karena peraturan mengenai penghinaan ini merupakan delik aduan, bukan delik murni.

Kemudian kepolisian beranggapan bahwa penangkapan yang dilakukan di Tuban dimaksudkan sebagai penerapan Restorative Justice. Lagi-lagi, kepolisian seperti melakukan blundernya secara bertubi-tubi. Pendekatan Restorative Justice dalam sistem pidana merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan serta keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban dalam suatu kasus pidana. Anggapan bahwa yang dilakukan kepolisian Tuban adalah menerapkan Restorative Justice dianggap keliru ialah tidak adanya unsur pidana dalam tindakan membuat kaus dengan design yang sama seperti mural “404 Not Found” di Tangerang. Penerapan Restorative Justice ini juga tidak sama dengan mediasi, terdapat berbagai mekanisme yang diatur didalamnya. Jika hal ini terus dilakukan maka akan banyak orang yang akan dipanggil kepolisian dengan dalih Restorative Justice, panggilan oleh penegak hukum merupakan hal yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat karena beranggapan bahwa ia memiliki kesalahan tindak pidana. Ketakutan masyarakat juga akan berdampak pada kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Akhirnya kepolisian menghentikan penyeledikan terhadap kasus mural di Tangerang dan Tuban karena tidak adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.

Hal ini tentu menjadi pembelajaran bahwa pihak-pihak pemerintah serta aparat negara yang kedudukannya dibawah rumpun eksekutif agar lebih bijaksana dalam merespon kritik masyarakat dalam bentuk apapun. UU ITE sudah menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya di media sosial, jangan sampai kritik masyarakat di medium manapun terus-menerus dicari kesalahan dan unsur pidananya. Publik mungkin memahami bahwa kurangnya pemahaman aparat negara dalam level kepolisian di sektor kecamatan, kota, dan lain sebagainya pada konsepsi kenegaraan. Kebingungan dan salah tanggap yang dilakukan kepolisian dalam level rendah dapat dimaklumi karena mengenai konsepsi kenegaraan ini merupakan hal yang masih seringkali diperdebatkan oleh praktisi hingga pejabat dalam level atas. Namun apabila ketidakpahaman ini justru menjadikan masyarakat sebagai korban ketidakpahaman mereka dalam konsepsi kenegaraan maka hal tersebut adalah salah besar dan harus dibela oleh sesama masyarakat. Seluruh aparat negara harus memahami konsepsi kenegaraan lebih dalam agar hal ini tidak terjadi kembali. Pemerintah jangan cepat tersinggung karena merasa dilecehkan apabila kritik mengarah kepada mereka karena hal tersebut juga terjadi karena rendahnya kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah itu sendiri. Kritik dari masyarakat harus benar-benar diresapi oleh pemerintah agar kegagalan serta kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan proses kenegaraan dapat diperbaiki karena bagaimanapun pemerintah bekerja untuk rakyat Indonesia. Ingatlah sebuah adagium dari Aristoteles yang menekankan bahwa suatu kehormataan di setiap orang itu melekat pada orang-orang yang berhak dihormati yang berbunyi “Dignity does not consist in possessing honours, but in deserving them.”


Referensi

Darmawan, R. A. (2021, Juli 26). “Viral Grafiti ‘Tuhan Aku Lapar’ di Tangerang Dihapus, Ini Kata Polisi”. Retrieved from Detiknews: https://news.detik.com/berita/d-5657189/viral-grafiti-tuhan-aku-lapar-di-tangerang-dihapus-ini-kata-polisi/amp

Hamim. (2021, Agustus 20). “Jokowi “404: Not Found”, dari Mural hingga Desain Kaus, Berujung Diburu Polisi. Retrieved from Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2021/08/20/071200378/jokowi-404-not-found-dari-mural-hingga-desain-kaus-berujung-diburu-polisi?page=all#page2

Syamsiar, C. (2009, Juli). Bentuk dan Strategi Perupaan Mural di Ruang Publik. Brikolase, 1, 33.

Tengens, J. (2011, Juli 19). Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia. Retrieved from Hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-restorative-justice-dalam-sistem-pidana-indonesia?page=2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V

»»  Baca Selengkapnya...

Anindita

 Anindita

Karya : Rosnafisah Setyani


Ketika aksa menatap wajahmu

Begitu indah afsun yang kau tampakkan

Bagaikan nirmala dengan anindita


Ketika lembayung sudah tampak

Rasa kagum tampak dalam kalbu

Menunggu datangnya indurasmi

Yang sama indahnya seperti dirimu


Mengapa kau begitu sempurna

Entah aksa atau rasa yang salah

Tapi aku yakin, kau lah yang indah

Aku begitu dewana

Karena sukma telah tertusuk

Tertusuk akan afsun dari dirimu


Hanya satu yang kutanya

Akankah daksa ini mendapatkan anindita mu?

Jika tidak, bisakah aku mengagumimu?

Walau aku tak bisa memilikimu seutuhnya

»»  Baca Selengkapnya...

Amaraloka

 Amaraloka

Karya : Rosnafisah Setyani


Ketika anak dara bertemu dengan dayati

Tumbuhlah dama yang terpekat dewana

Menerbak afsun bagaikan abhati

Hingga sukma tertekan kampana


Membancang rindu dalam dada

Menumpahkannya dalam bait puisi

Meninggalkan kenangan dalam noda

Yang terpaut setiap adorasi


Syair indah tercipta tanpa rencana

Mengisi kalbu dengan rajaswala

Ketika aksa memandang kesempurnaan

Timbul rasa janardana yang tertekan


Amaraloka sangat indah

Terlalu rumit untuk diksi yang kutulis

Hingga tak ada kata menyerah

Dalam atma yang sudah kalis

»»  Baca Selengkapnya...