SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Friendship is not a lesson you can learn in the school. But you have not learned anything if you haven't learned the meaning of friendship. (Shufi Salsabila)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Pendidikan merupakan hiasan kemakmuran serta tempat perlindungan dalam kesulitan. (Aristoteles)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri. (JOHN DEWEY)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Pendidikan mempunyai akar yang pahit tapi buahnya manis. (Aristoteles)

SELAMAT DATANG DI BEM PPKN

Di depan memberi teladan,Di tengah memberi bimbingan, Di belakang memberi dorongan. (Ki. Hajar Dewantara)

Sunday, June 30, 2019

Pendidikan


Siapa yang tak menginginkanmu?
Jika binatang berakal pun dia pasti menginginkanmu
Bacaanmu membuka jendela kebodohan
Tulisanmu memporak porandakan kebuntuan
Pemimpin-pemimpin negeriku pernah berjanji tentangmu
Mengelu-elukanmu dalam kalimatnya
Rasanya sangat menggelitik perut

Lihat saja anak negeriku berkeliaran pada keramaian lampu merah
Menjual suara dan tangan kecil mereka
Sepiring nasi menjadi alasan
Lihatlah pemuda negeriku bertingkah brutal tak hirau moral
Dimana engkau pendidikan?
Jika kau tampak karena lembaran kertas nominal apa arti kata memulai?
Hancurlah mimpi si kecil negeriku
Ibu pertiwi semakin berapi
Marah dan pilu melihat negeriku

Salam dari yang merindukan pendidikan
Nelsa DelviraMahasiswa PPKN 2016 
»»  Baca Selengkapnya...

HIV BUKAN PENGHALANG KARYAMU

Namaku Didi, Usiaku 12 tahun dan sekarang duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku tinggal bersama kakekku. Ayahku telah meninggal sejak aku masih dalam kandungan, disusul oleh ibuku yang juga meninggal saat aku berusia 2 tahun. Sulit bagiku untuk menjalani hidup di tengah masyarakat dengan keadaanku saat ini, mereka memang memaklumi dan tidak pernah mengecamku. Setelah di diagnosa mengidap HIV genetika, hidupku terasa semu, tak ada yang Aku harapkan lagi di dunia ini, entah itu cita-citaku sebagai seorang polisi, atau sebagai seorang yang berhasil, memiliki teman sejati atau menikahi wanita cantik ketika aku dewasa.
             Ya, semuanya hilang begitu saja. Aku tak habis pikir mengapa dulu ibuku bisa melakukan hal yang hina itu.  Pekerja Seks Komersil (PSK) tanpa memikirkan akibat yang akan dia hadapi. Sekilas terbesit di pikiranku mungkin itu jalan satu-satunya untuk menghidupi aku semenjak ayahku meninggal. Tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk semua ini.
            Ketika aku kecil, dokter mengatakan pada kakek bahwa gejala-gejala yang ditimbulkan virus HIV di tubuhku terlihat setelah 10 tahun mendatang disertai dengan gejala-gejala kecil sebelumnya. Itulah yang menjadi alasan mengapa kakek menjagaku dengan ketat karena takut aku jatuh sakit, karena bagi para penderita HIV jenis penyakit ringan seperti flu saja akan menjadi beban berat karena hidung akan terus menerus mengeluarkan air tanpa henti, hal itu disebabkan karena sel darah putih yang tidak mampu bekerja maksimal sebagai imun tubuh. Meskipun pada saat itu aku juga sering jatuh sakit, sel darah putihku masih dalam kategori aman, tetapi di Usiaku yang ke 12 ini, terpaksa aku harus siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi pada tubuh ini.
           Suatu hari, aku memutuskan untuk berhenti sekolah, karena sepertinya mulai saat itu aku harus menjalani hari-hariku di rumah. Rasanya bosan sekali, tidak ada teman selain kakek yang setia  menemaniku. Aku hanya mampu melihat dunia dibalik jendela kamarku, terkadang aku hanya dapat menikmati sinar matahari pagi yang masuk lewat celah-celah kamar.
            1 minggu sudah aku menjalani hidup seperti ini, hari demi hari sepertinya akan begini, bahkan kiranya sampai kematian menjemputku. Aku hanya bisa melamun memandang langit-langit kamar, hatiku selalu bergejolak dan otakku dipenuhi pertanyaan yang kian membuncah, mengapa aku harus begini !? Aku tak pernah melakukan apapun yang merugikan orang lain, mengapa harus aku yang seperti ini, aku iri pada mereka  yang bisa menjalani hidupnya dengan normal. Aku tak bisa terus seperti ini ! Air mata mengalir deras jatuh ke pipiku, sambil terisak-isak aku menyeka air mataku.
            Tiba-tiba terdengar seseorang membuka pintu. Ya, itu pasti kakek !, lalu siapa lagi yang sudi datang ke rumah ini. Aku harus segera menghapus air mataku karena tak ingin kakek sedih melihatku. “Didi ? lihat siapa yang datang !” ujar kakek sambil mengetuk pintu kamarku. “Ya, siapa ?” tanyaku dari dalam kamar. “Bukalah pintunya” pintanya. Akupun membuka pintu kamarku dan melihat bu Fitri guruku di sekolah ada di rumahku. Bagaimana bisa ? Sontak, aku terkejut dan langsung menutup kembali pintu kamarku. Kakek meminta agar aku kembali membuka pintunya, namun bu Fitri meminta dia untuk tidak memaksaku. Akhirnya, tak lama kemudian bu Fitri pergi meninggalkan rumahku.
            Aku termenung memandang foto Ayah yang saat ini sedang Aku pegang. Andai ia masih hidup, Aku pasti tidak akan seperti ini.
         “Di….” terdengar suara Kakek lembut di telingaku. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku. “Bersikaplah baik pada setiap orang meskipun keadaanmu sedang tidak baik” ujarnya sembari mengelus rambutku. Aku pun mengangguk dan mengerti apa maksudnya. “Ohh iya, tadi gurumu memberikan ini” tambahnya lagi sembari memberikan seperangkat alat melukis yang diberikan bu Fitri untukku. Aku mengambilnya dan meletakanya di dekat lampu tidurku. “Sekarang kamu tidur, istirahat yang cukup dan jangan sampai kelelahan” perintah kakek sembari mematikan lampu kamarku.

Keesokan harinya…
            Sinar matahari pagi mengenai wajahku melalui celah kamar. Aku terbangun dari tidurku dan sedikit melamun memandang langit-langit kamar. Aku membalikan posisi tidurku dan melihat pemberian bu Fitri yang aku simpan di dekat lampu tidurku semalam. Bosan rasanya bila hanya memandangnya saja, Akupun mulai melukis hal-hal yang ada di pikiranku. Sebenarnya Aku tidak begitu suka melukis.
        Tak lama kemudian, kakek memasuki kamarku dan membawakanku sarapan. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku. “Lukisan apa itu ?” tanyanya. “Spectrum” jawabku singkat. Hanya karena garis warna-warni yang aku gambar, aku menyebutnya spectrum, padahal aku tidak tahu itu lukisan apa, benar-benar absurd.
            “Begitu yah, indah sekali” ujar Kakek sembari memujiku dan seperti mencoba membuat aku senang, aku hanya diam tanpa menghiraukanya. “Jangan lupa untuk menghabiskan sarapanmu, kakek hendak pergi ke luar sebentar” Ia pun meninggalkan rumah.
Saat itu aku memerhatikan segelas susu yang ada di atas lemari buku, lalu aku melukisnya. Warnanya putih, sedikit lebih kental dibanding dengan air jernih, rasanya manis dan banyak orang menyukainya. Bagaimana caranya aku bisa melukiskan segelas susu itu dengan semua makna yang ada di dalamnya ? Aku bertanya-tanya dalam hati sembari fokus melukis dengan memerhatikan gelap terangnya. Sejak saat itu aku suka melukis. yang ada dipikranku tentang melukis adalah bukan hanya melukis saja, tetapi juga berusaha menyimpan makna tersirat di dalamnya.
            Aku juga melukis pohon mangga yang ada di balik jendela kamarku. Pohon yang hidup dari akar, kokoh dengan batang, rindang dengan dedaunan dan indah dengan buah. Semua yang aku gambar harus memiliki makna.
            Suatu hari, aku sedang melukis aurora di ruang tengah rumah. Warna-warninya memiliki makna keceriaan yang mungkin hanya ada pada khayalanku. Awalnya aurora itu aku lihat di televisi dan rupanya indah bila dilukis.
            Tak lama kemudian kakek datang bersama bu Fitri. Aku tak pernah menyangka kalau guru yang satu ini tidak pernah takut denganku, dia sangat baik hingga datang berkali-kali untuk menjengukku. Anehnya, dia tidak pernah kapok dengan sikap dingin dan acuhku. “Didi….” gumamnya, namun aku terus melukis tanpa menghiraukanya.
“Kamu ingin dengar sesuatu ?” tanyanya sembari membujuku lembut, namun Aku tetap tidak menghiraukanya. “Ada seorang seniman yang pandai melukis, ia sangat sukses dalam meniti karirnya. Suatu hari ia kehilangan tangan kananya, namun dia berusaha melukis dengan tangan kirinya. Tetapi, sesuatu terjadi lagi, ia kembali kehilangan tangan kirinya sehingga dia berusaha untuk bisa melukis dengan kakinya. Tapi semua itu tidak pernah membuatnya berhenti berkarya, dan ia tetap akan terus berkarya” mendengarnya, aku langsung melihat ke arah nya, aku mencoba mendengarnya.
“Kau tahu apa yang dapat menghentikan seseorang untuk berkarya ?” tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. “Hanya hati, pikiran dan kemauan yang mampu menghentikan seseorang untuk berkarya. Kamu masih memiliki semua itu, dan kamu masih bisa bertahan sampai saat ini. Selama kamu masih memiliki hati, pikiran dan kemauan, jangan pernah takut untuk berkarya. Tidak seorang pun yang bisa membatasimu. Imajinasi itu tiada batas” Seketika ucapanya membuat air mataku menetes. Aku salah tentang kehidupanku selama ini, seharusnya aku tidak takluk dengan keadaan.
            Motivasi itu memacu diri ini untuk maju, aku tidak perduli sampai kapan aku hidup, yang jelas aku hanya ingin memanfaatkan waktu hidup ini dengan berkarya tanpa batas. Aku mulai menemukan hobi ku, ya dari melukis itulah aku mulai menekuninya. Hingga suatu hari, lukisanku laku di pasaran. Bahkan ada pengusaha kondang yang melelang lukisanku dengan harga Rp.100 juta.

            Aku mulai menggeluti hobiku dan memamerkan lukisan-lukisanku setiap kali ada acara pameran. Perlahan, aku mulai bangkit dari keterpurukan, aku ingin membuat kakek bangga dengan apa yang aku lakukan. 

Syifa Syarifa
Mahasiswa PPKN 2017
»»  Baca Selengkapnya...

Rekonstruksi Pemahaman Logika Pancasila

Oleh: Maulana Malik Ibrahim

“Pancasila adalah sebuah produk ideologi yang moderat”

Pelbagai kasus yang mengancam integrasi nasional muncul ke permukaan seiring dengan adanya konotasi “Luntur leburnya Nilai Sah Bangsa (Pancasila)”. Kasus Intolerasi merebak bukan hanya di kota-kota, tetapi juga sentimen simbol keagamaan juga mewabah di pelosok daerah yang biasanya mereka hidup rukun bahagia. Tidak berhenti pada permasalahan intoleransi, memudarnya semangat gotong royong, dan juga bobroknya sistem demokrasi menjadi sayatan luka bangsa tersendiri yang belum bisa diobati. Permasalahannya terletak diantara dua komponen Negara, antara pemerintah dan rakyatnya sendiri, ada sebuah satir yang mengungkapkan bahwa “Rakyat adalah cerminan dari pemerintahan” maka dalam hal ini, khususnya dalam kasus memudarnya nilai akar budaya bangsa tidak serta-merta harus menyalahkan kedua komponen tersebut, karena mereka semua ikut dalam semua konflik serta harmonisasi yang tercipta di negara ini dan seharusnya komponen bangsa tersebut dapat saling intropeksi massal untuk merekonstruksi akar budaya bangsa yang telah dimaktubkan menjadi sebuah ideologi bangsa, yaitu Pancasila.
            Mengutip pernyataan dari seorang Jurnalis Amerika Abad-20, Walter Lippmann “Picture In Our head” atau sering disebut “gambaran umum dalam kepala” bahwa paradigma yang ada pada pikiran penulis bukanlah sebuah generalisasi yang dijatuhkan pada dua komponen yang ikut andil dalam lunturnya nilai bangsa ini, akan tetapi penulis memandang bahwa akar masalah yang timbul ini bisa saja disebabkan oleh kedua komponen tersebut yang mungkin belum bisa bersinergi dalam membangun serta menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila. Perlu dipahami bahwa Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa telah jauh memenuhi kata sah secara faktual serta implementatif, karena kenyataan yang ada sekarang berbanding terbalik dengan hal normatif pada nilai Pancasila.
            Dalam sejarah perkembangan perumusan Pancasila, banyak ditemukan persoalan-persoalan yang pernah dikatakan Soekarno sebagai persoalan yang “Njelimet”, banyak perdebatan tentang dasar negara mengenai negara islam atau plural, liberal atau komunis, kapitalis atau sosialis. Semua gelagat keinginan kelompok tumpah ruah saat prosesi penyampaian gagasan tentang dasar negara, penting sekali bahwa dasar negara haruslah secepat mungkin ditemukan agar menjadi suatu pemicu nilai mana yang akan bangsa ini gunakan serta implementasikan, ketika fundamennya belum ada maka rakyat akan bimbang. Ketika semua gaduh dalam suasana panas Sidang BPUPKI I (29 Mei-1 Juni 1945), Soekarno mencoba untuk meredakan ketegangan itu dengan berpidato mengenai dasar negara (Philosophie Grondslag) ataupun dapat disebut penghayatan hidup bangsa Indonesia yang disebut Pancasila “Lima Dasar”. Diatas inilah negara Indonesia dibangun, fondasi inilah yang mencegah kehancuran bahkan runtuhnya Negara ini. Jika lima sila tersebut diperas hanya menjadi tiga sila akan dinamakan “Tri Sila” yang artinya paham bangsa ini adalah Sosio-Demokrasi, Sosio-Nasionalis, dan Ke-Tuhanan (semua untuk semua, bukan hanya golongan tertentu saja untuk Indonesia), demokrasi yang dianut ialah demokrasi Indonesia yang memahami konsepsi musyawarah mufakat bukan seperti demokrasi barat yang sebagai mana adanya. Dan jika dari tiga sila tersebut hanya direduksi menjadi satu sila “Eka Sila” paham Negara Indonesia ialah “Gotong Royong”, disini paham gotong dapat dimaknai sebagai simbol dinamis yang sewaktu-waktu bisa dipadu-padankan dengan tuntutan zaman yang ada, dan juga lebih dari sekedar simbol persaudaraan dan kekeluargaan. Pancasila sebagai filosofi hidup bangsa Indonesia betul-betul diambil dari nilai budaya asli Indonesia dan sama sekali  tidak diambil dari paham Liberalis ataupun paham Komunis, “Pancasila adalah sebuah produk ideologi yang moderat” Tutur Soekarno.
            Sebuah jalan terjal kesejarahan yang dipikul berat oleh orang-orang yang ingin sekali memiliki fondasi ketatanegaraan. Dari apa yang telah dicetuskan oleh Soekarno itu dijadikan nama dari dasar negara Indonesia, lagi-lagi rumusan butir-butir Pancasila oleh panitia 9 kembali dirombak agar sesuai dengan nilai dan karakter bangsa yang asli, sehingga nantinya tidak akan menimbulkan polemik ketika negara sudah berjalan. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam upaya perumusan Pancasila sebagai dasar negara, banyak yang menginginkan negara ini dibangun atas golongan apa yang paling banyak jumlahnya, tak jarang intervensi bahkan Lobbying menjadi faktor penentu di kala itu. Pada saat perumusan ulang Pancasila diketahui terdapat lima butir sah yang diyakini sebagai fondasi utama bangsa Indonesia yang berdaulat dan merdeka, berikut butir-butir Pancasila yang dicetuskan pada 22 Juni 1945:
1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Pesatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dari kelima butir diatas dapat ditarik simpulan bahwa dasar negara Indonesia sudah matang dan siap untuk menjadi pedoman hidup rakyat Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi pro-kontra terjadi saat perumusan sila pertama, banyak yang menganggap pada sila pertama hanya mewakili satu agama dan tidak merepresentasikan pengakuan atas agama yang lain. Pertimbangan yang lainnya untuk pengubahan sila pertama bahwa Negara Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang hingga Merauke, itulah yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu. Ancaman lain yang memberikan dampak nyata adalah ingin lepasnya bagian Timur Indonesia yang merasa tidak terwakili  suaranya di dalam perumusan dasar negara tersebut. Pada 18 Agustus 1945 menjadi titik tolak pluralisme yang ada di Indonesia dimenangkan, pada hari itu frasa “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya” digantikan menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai pengejawantahan atas Negara multikultural. Pada saat prosesi pengesahan Pancasila sebagai dasar negara, didapati lima nilai bangsa yang temaktub dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, antara lain:
1.      Ketuhanan yang Maha Esa
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.      Persatuan Indonesia
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

              Perlu dipahami bahwa konteks logika Pancasila yang dibangun tersebut atas dasar perasaan sama-sama dijajah dan dirampas kemerdekaannya oleh bangsa lain. Semua elemen bangsa bersatu untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, tak kenal agama, ras, suku, dan adat istiadat, semua berkumpul menumpahkan gagasan serta kegelisahannya untuk mencapai “Indonesia Merdeka”. Penjabaran nilai-nilai Pancasila yang disahkan pada Sidang PPKI ke-2 (18 Agustus 1945) merupakan bentuk tertinggi nilai-nilai normatif bangsa Indonesia.
              Pertama, secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut Notonagoro, hakikat dasar antologi Pancasila adalah manusia, karena manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, Pancasila dijadikan dasar negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan kodrat manusia yang monodualis tersebut.
              Kedua, kajian epistemology, Filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan adanya karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.
              Ketiga, kajian aksiologis Filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan mengenai Pancasila. Hal ini disebabkan karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Aksiologi Pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang mengakui, menghargai, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia.(Dewantara, 2017)
              Rumitnya penyusunan Pancasila hingga Pancasila sebagai filsafat negara memiliki kerangka yang jelas dalam manifestasi nilai-nilai budaya Indonesia. secara gamblang kita melihat bahwa terdapat sebuah kontradiksi dalam teori yang dirumuskan dan juga pelaksanaan yang belum sesuai dengan apa yang di harapkan. Diperlukan sebuah revitalisasi ataupun rekonstruksi makna mendalam dalam upaya pembumian nilai-nilai Pancasila. Jangan sampai apa yang telah dirumuskan secara mati-matian oleh Founding Fathers bangsa hanya akan menjadi sebuah makna semu tanpa implementasi. Negara memiliki peran penting dalam penggalakan rekonstruksi sesuai logika filsafat Pancasila. Perlunya sinergitas antara Pemerintah dan Rakyat untuk membumikan nilai-nilai Pancasila yang mulai usang, pengembalian artian sila pertama hingga kelima tidak bisa dilakukan secara instan, perlu proses yang panjang dalam membangun kesadaran kolektif bahwa Pancasila merupakan faktor pemersatu bangsa. Rekonstruksi nilai-nilai Pancasila akan terlihat jelas apabila bangsa Indonesia sudah tidak mendengar lagi kabar yang tersiar mengenai masalah intoleransi, ketidakadilan, arti demokrasi yang kabur, ketimpangan sosial, dan beragam masalah yang lain. Juga yang perlu dipahami adalah bahwa bangsa Indonesia bukanlah milik golongan tertentu. Bangsa Indonesia milik orang-orang yang berusaha keras melawan penjajahan dan ketidakadilan.

»»  Baca Selengkapnya...

Kesan Perjalanan

Seperti tidak tahu arah jalan
Tersesat di dalam kegelapan
Bantu diriku menemukan kembali harapan
Untuk mencapai sesuatu tujuan

Tolong bantulah diriku wahai teman
Untuk menggapai sebuah impian
Berilah diriku sebuah dorongan
Akan tetapi tidak secara paksaan

Walau terlihat banyak senyuman
Tetapi itu seperti angan-angan
Hanya untuk menutupi kesedihan
Dari suatu permasalahan 

Diriku sekarang seperti dalam kebingungan
Seperti mendungnya langit karena awan
Tolong genggam erat tanganku kawan
Untuk menatap masa depan

- Ini Tulisan, Hamba Allah.
»»  Baca Selengkapnya...