Monday, April 1, 2019

Sepenggal Kisah Gita


Sepenggal kisah Gita
 
  


     Bagi Gita, hidup susah sudah biasa. Gita adalah anak kedua dari tiga bersaudara kandung. Namun, ia terlahir dalam sebuah keluarga poligami. Sehingga, Gita adalah anak keempat dari enam bersaudara. Ia pun dilahirkan dalam keluarga sangat sederhana. Tak ada kata mewah dalam hidupnya.

        Kisah ini dimulai dari cerita cinta ayah dan ibu.Cerita cinta yang tidak direstui oleh sang ibunda. Ibunda yang menjodohkan ayah pada wanita  lain. Namun, sebagai pria, ayah tetap memperjuangkan cintanya kepada ibu. Hingga ayah pun memutuskan menikah pula dengan ibu.

       Hari demi hari terus berlalu. Hingga lahirlah gadis mungil sebagai anak perempuan yang didambakan dikeluarga ini, setelah adanya Fajar sebagai anak laki-laki pertama. Ia adalah Gita Dwi Pratiwi.

        Semua berjalan lancar dan terasa normal. Ya, hanya terasa, padahal ada fakta yang tidak senormal itu. Hingga pada usia Gita yang kedelapan tahun, ia mendapatkan satu fakta mencengangkan. Fakta yang dinyatakan oleh seorang ibu yang telah lelah ditanyai oleh putri kecilnya perihal, “dimana ayah?”. Ya, ayah tidak ada di rumah setiap malam. Miris, 365 hari dalam setahun, namun hanya maksimal lima hari ia bermalam di rumah. Ditambah, Minggu dan hari libur, ayah pun tak ada di rumah.

       Disiang hari itu, dunia Gita terasa runtuh.Bagaimana tidak, gadis kecil yang begitu mencintai ayahnya ini, merasa bagai ditampar pedihnya kenyataan, bahwa laki-laki yang ia cintai ini telah berkhianat. Mempunyai keluarga dan anak di luar sana. Padahal, gadis ini selalu merindukannya setiap waktu.

         Ayah sangat mengetahui betapa kecewanya hati gadis kecilnya ini. Kata maaf dan segala penjelasan ayah pun, terasa bagai angin lalu ditelinganya. Bagai perasan jeruk nipis pada luka yang basah. Hanya menambah pedih.

          Dua kalimat yang dapat ia cerna pada waktu itu ialah: “Ini sudah suratan takdir kak, ini bukan salah ibu atau nenek. Ini salah ayah, ayah minta maaf atas takdir ini”. Air matanya semakin menjadi-jadi, tangis kecewanya tak dapat dibendung lagi. Itulah patah hati pertama gadis kecil ini.

       Keesokan dan seterusnya, Gita mencoba berdamai dengan keadaan. Ia membuka hatinya untuk menerima takdir Ilahi ini dengan ikhlas dan memaafkan sang ayah. Walau, kadang tiap malam ia sering menangis diam-diam jika rindu untuk tidur dalam dekapan hangat sang ayah.

        Namun, rasa cinta Gita masih melebihi rasa sakit dan kecewanya pada sang ayah. Baginya, ayah masih menjadi sosok idolanya. Ayah sosok yang sangat bertanggung jawab baginya. Sosok pria dewasa yang adil, penyayang, dan menjadi panutan bagi Gita.

         Inilah kehidupan. Tak ada yang benar-benar sempurna. Apa yang bagimu indah, belum tentu baik bagimu. Begitu pun sebaliknya, apa yang kau benci dan menurutmu buruk, terkadang itu lebih baik bagimu. Bukalah diri, ikhlas menerima adalah kunci dari ketenangan. Ada kekurangan disetiap kelebihan. Cintailah sewajarnya. Membenci sekadarnya. Serahkan segalanya pada Tuhan. Dan jangan menyesali takdir Ilahi. Hapuslah kesedihanmu, Gita.

No comments:

Post a Comment