Tuesday, April 30, 2019

Payung Putih Penolong


Sore itu langit berubah menjadi kelabu, menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi. Aku berlari-lari kecil agar cepat sampai di toko bunga setelah bermain basket di lapangan.
Ibu menugaskanku untuk membeli sekantung bibit bunga matahari yang nantinya akan ditanam di kebun belakang rumah.Aku dan Ibuku sangat menyukai bunga. Tak jarang waktu luang kami gunakan untuk merawat kebun bersama.
Tetes demi tetes air mulai jatuh di atas kepalaku. Aku semakin mempercepat langkah menyeberangi jalan. Tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang menabrakku, tubuhku pun terpental jauh. Kepalaku terbentur aspal begitu keras, kakiku terasa sakit sekali, dan sekujur tubuhku menjadi lemas.
Darah mulai keluar dari tubuhku. Hujan turun dengan derasnya, seraya membawa darahku mengalir.Kemudian, aku melihat wanita dengan payung putih menghampiriku, sontak ia langsung berteriak meminta tolong. Setelah itu, semuanya berubah menjadi gelap gulita.
Aku terbangun di sebuah ruangan bercat putih. Di tubuhku menempel banyak alat-alat penyelamat yang biasanya aku lihat di rumah sakit. Ya, sepertinya saat ini aku memang berada di rumah sakit.
Aku memengang kepalaku yang terasa sakit. Seorang wanita tertidur pulas di sampingku, kurasa sepertinya ia kurang tidur, terlihat dari kantung matanya yang begitu tebal. Aku mengenali wanita itu, ia adalah ibuku.
Tiba-tiba ibuku terbangun, ia menangis dan segera memanggil dokter. Beberapa menit kemudian, seorang dokter datang, Ia langsung memeriksa keadaan ku. Entah mengapa rasanya sangat sulit untuk menggerakkan kaki kiri ku, kaku sekali rasanya.
Ibu menceritakan apa yang terjadi sebenarnya kepadaku. Ternyata aku sudah mengalami koma selama 4 hari. Air mata mengalir deras di pipi ku, karena kaki kiriku patah dan aku tidak bisa berjalan. Butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya. Ibu memelukku erat, mencoba membuat aku tenang.
Bosan sekali rasanya hanya bisa tertidur di kasur rumah sakit. Aku meminta ibu untuk mengambilkan kursi roda, karena aku ingin bermain di taman rumah sakit seraya menghibur diri menghilangkan rasa sesak didada ini. Ibu pun mengantar ku ke taman.
Jarum jam menunjukkan pukul 12 siang, sudah saatnya ibu menjemput adikku di sekolahnya. Dengan terpaksa ia meninggalkan ku, ia juga berpesan agar aku berhati-hati dan segera memanggil suster ataupun dokter apabila terjadi sesuatu.
Aku terdiam meratapi nasibku saat ini sambil memandangi bunga-bunga di taman itu. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Air hujan membasahi seluruh bajuku. Tanpa disadari air mata mengalir deras di pipiku. Senang rasanya berdiam diri di bawah derasnya hujan, karena dengan itu tidak ada yang bisa melihat bahwa saat itu aku sedang menangis. Aku pun memejamkan mataku.
Entah apa yang menyebabkan air hujan tidak membasahi tubuhku lagi, mengapa hujan ini berlalu begitu cepat. Aku pun membuka mata, ternyata sebuah payung putih melindungi ku. Rasanya aku mengenal payung itu. Payung itu sama seperti payung yang menyelamatkanku sewaktu kecelakaan itu.
Seorang wanita mendorong kursi rodaku. Kini aku sudah kembali berada di dalam kamar.
“Semangat Gia!” ucapnya sambil tersenyum.
Setelah itu, ia pergi dengan membawa payungnya. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Loh, bagaimana Ia bisa mengetahui namaku?” tanyaku dalam hati.
Hampir dua minggu lamanya aku berada di rumah sakit ini. Karena keadaan ku sudah pulih, aku pun di perbolehkan untuk pulang. Walau aku belum bisa berjalan dengan sempurna dan harus memakai tongkat.
Hidup ku kini suram sekali rasanya, aku sangat depresi karena tidak bisa bermain basket lagi. Aku tidak bisa meraih mimpiku menjadi seorang altet basket.
Hari ini begitu panas, matahari seperti mengeluarkan seluruh panas yang ia punya. Akan tetapi aku bersikeras memaksakan diri dengan menggunakan tongkat untuk pergi menuju lapangan basket yang terdapat tak jauh dari rumahku. Aku pergi tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ibu.
Sesampainya di lapangan, air mata ku menetes lagi. Ingin rasanya berteriak. Namun tiba-tiba payung putih itu melindungi ku lagi, sehingga aku terlindung dari panasnya matahari siang itu.
Mengapa wanita itu selalu datang dan melindungiku? Ia selalu melindungiku dengan payung putih itu, di kala hujan maupun panas.
Ia selalu berkata “Semangat Gia!”  dengan tersenyum dan kemudian pergi secepat kilat. Bahkan sampai saat ini aku belum mengetahui siapa ia sebenarnya.
Karena penasaran, aku menahan tangan wanita itu, kali ini ia tidak bisa pergi lagi dariku. Aku menanyakan padanya, siapa ia sebenarnya. Ia pun akhirnya memberitahu identitasnya.
Ternyata namanya adalah Melati, namanya sama seperti nama bunga favorite ku. Ia adalah anak dari seorang laki-laki yang menabrak dan menyebabkan diriku menjadi seperti ini.
Ia bercerita bahwa saat itu ayahnya sedang dalam emosi karena bertengkar dengan ibunya, sehingga pergi membawanya dengan mobil yang melaju kencang. Dan tanpa disengaja menabrak diriku. Namun kini ayahnya sudah mendekam di penjara akibat perbuatannya.
Melati merasa amat bersalah kepadaku, terlebih di saat ia mengetahui bahwa kini aku tidak bisa berjalan sempurna seperti sedia kala. Ia selalu mengunjungiku di rumah sakit secara diam-diam. Payung putih itu adalah payung kesayangan nya, sehingga ia selalu membawa nya kemana pun ia pergi.
Ia meminta maaf kepadaku atas kesalahan ayahnya. Ia menangis karena nasib keluarganya yang berantakan. Hatiku seakan terketuk, aku merasa iba kepadanya. Aku sudah memaafkan kesalahan ayahnya, bahkan sebelum ia meminta maaf kepadaku. Aku memeluk Melati dengan erat.
Setelah kejadian itu, kini Melati adalah sahabatku. Kami selalu menghabiskan waktu bersama.  Melati juga membantu ku untuk bisa kembali berjalan, sampai akhirnya aku bisa berjalan tanpa harus menggunakan tongkat lagi. Walau aku harus berberat hati menerima kenyataan bahwa aku tetap tidak bisa bermain basket dan meraih mimpiku menjadi seorang atlet basket.

No comments:

Post a Comment