Salah Tanggap Kritik Mural
oleh Aldo Pratama Putra
Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang besar pada masyarakat. Kondisi yang memburuk yang ditandai dengan mulai naiknya kasus positif dengan skala yang tinggi dan pasien yang meninggal dunia karena Covid-19 yang signifikan membuat pemerintah harus menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Durasi PPKM yang cukup lama dan tidak merata serta tidak mencukupinya bantuan sosial dari pemerintah membuat masyarakat mulai mengekspresikan kekecewaan mereka pada pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. Ekspresi kekecewaan tersebut diwujudkan melalui mural-mural oleh para seniman. Pada abad 17 M ketika era seni modern muncul yang ciri utamanya merupakan kebebasan berekspresi tanpa terikat oleh ikatan-ikatan tertentu, seniman bebas menggunakan media dan visualisasi apapun termasuk turun ke jalan-jalan mengisi ruang-ruang publik dengan media dan pencitraan visual. Mayoritas kegunaan seni lukis mural di ruang publik ini ialah pada kepentingan publik. Kritik sosial merupakan salah satu bentuk yang seringkali menjadi topik utama dalam seni mural jalanan atau street art.
Dari berbagai mural tersebut, terdapat satu mural yang menarik perhatian publik. Mural tersebut berada di daerah Tigaraksa, Banten, yang bertuliskan “Tuhan, Aku Lapar”. Mural tersebut kemudian ramai menjadi perbincangan di media sosial hingga pihak Kepolisian entah apa alasannya merespons kritik tersebut dengan menutup mural tersebut dengan dicat ulang. Kemudian polisi mencari seniman yang menggambar mural tersebut untuk memberikan bantuan sosial. Fenomena ini cukup menarik dibahas terlebih dengan keikutsertaan polisi dalam menanggapi kritik ini. Kritik “Tuhan, Aku Lapar” seharusnya memiliki makna yang tidak sesempit adanya seseorang yang memiliki keahlian seni lukis mural dan dalam kondisi kelaparan memberikan tanda bahwa dirinya sedang kelaparan dalam bentuk seni mural. Mural tersebut adalah kritik sosial bahwa banyak penghasilan masyarakat yang terdampak dengan pemberlakuan PPKM. Jika ditilik lebih jauh, pemberian bantuan sosial juga sebenarnya bukan tugas dari kepolisian, hal itu merupakan tugas dari elemen-elemen pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Mural “Tuhan, Aku Lapar” ini memantik inisiasi seniman-seniman lain untuk melakukan hal yang sama sebagai bentuk kritik sosial mereka. Tak lama berselang, muncul kembali mural di Tangerang, Banten, yang dalam mural tersebut terdapat seseorang yang terlihat mirip seperti Presiden Joko Widodo dan di bagian mata ditutupi oleh tulisan “404 Not Found” yang kemudian ramai menjadi pembincaraan masyarakat di media sosial. Kali ini, polisi kembali berpartisipasi untuk merespons kritik ini dengan menutup mural tersebut dan mencari seniman yang melukis mural tersebut. Kemudian di Tuban, Jawa Timur, terdapat seseorang yang merasa kagum dengan mural tersebut dan berinisiatif mencetak mural tersebut di kaus. Kepolisian Polres Tuban merespon dengan menangkap orang tersebut yang berakhir dengan permintaan maaf dirinya, dengan dalih bahwa yang telah dilakukan oleh orang tersebut merupakan penghinaan terhadap Presiden sebagai simbol negara serta panglima tertinggi kepolisian karena dalam gambar tersebut terdapat gambar Presiden Joko Widodo yang matanya ditutup dengan tulisan yang sama dengan mural di Tangerang yang juga sedang dicari polisi dengan alasan yang sama, penghinaan simbol negara serta panglima tertinggi kepolisian. Hal ini dikritik keras oleh berbagai kalangan bahwa Presiden bukan merupakan simbol negara.
Jika merujuk pada KBBI, kata “simbol” ialah nomina dari kata “lambang” yang maknanya ialah sesuatu seperti tanda yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Kemudian berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, Presiden tidak termasuk dalam Lambang Negara. Hal ini tentu menampik anggapan bahwa adanya unsur pidana dalam mural tersebut. Jika mural tersebut merupakan bentuk penghinaan, Presiden Joko Widodo yang merupakan pihak yang merasa diihina dalam mural ini harus mengajukan laporan ke penegak hukum karena peraturan mengenai penghinaan ini merupakan delik aduan, bukan delik murni.
Kemudian kepolisian beranggapan bahwa penangkapan yang dilakukan di Tuban dimaksudkan sebagai penerapan Restorative Justice. Lagi-lagi, kepolisian seperti melakukan blundernya secara bertubi-tubi. Pendekatan Restorative Justice dalam sistem pidana merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan serta keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korban dalam suatu kasus pidana. Anggapan bahwa yang dilakukan kepolisian Tuban adalah menerapkan Restorative Justice dianggap keliru ialah tidak adanya unsur pidana dalam tindakan membuat kaus dengan design yang sama seperti mural “404 Not Found” di Tangerang. Penerapan Restorative Justice ini juga tidak sama dengan mediasi, terdapat berbagai mekanisme yang diatur didalamnya. Jika hal ini terus dilakukan maka akan banyak orang yang akan dipanggil kepolisian dengan dalih Restorative Justice, panggilan oleh penegak hukum merupakan hal yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat karena beranggapan bahwa ia memiliki kesalahan tindak pidana. Ketakutan masyarakat juga akan berdampak pada kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Akhirnya kepolisian menghentikan penyeledikan terhadap kasus mural di Tangerang dan Tuban karena tidak adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.
Hal ini tentu menjadi pembelajaran bahwa pihak-pihak pemerintah serta aparat negara yang kedudukannya dibawah rumpun eksekutif agar lebih bijaksana dalam merespon kritik masyarakat dalam bentuk apapun. UU ITE sudah menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat dalam mengemukakan pendapatnya di media sosial, jangan sampai kritik masyarakat di medium manapun terus-menerus dicari kesalahan dan unsur pidananya. Publik mungkin memahami bahwa kurangnya pemahaman aparat negara dalam level kepolisian di sektor kecamatan, kota, dan lain sebagainya pada konsepsi kenegaraan. Kebingungan dan salah tanggap yang dilakukan kepolisian dalam level rendah dapat dimaklumi karena mengenai konsepsi kenegaraan ini merupakan hal yang masih seringkali diperdebatkan oleh praktisi hingga pejabat dalam level atas. Namun apabila ketidakpahaman ini justru menjadikan masyarakat sebagai korban ketidakpahaman mereka dalam konsepsi kenegaraan maka hal tersebut adalah salah besar dan harus dibela oleh sesama masyarakat. Seluruh aparat negara harus memahami konsepsi kenegaraan lebih dalam agar hal ini tidak terjadi kembali. Pemerintah jangan cepat tersinggung karena merasa dilecehkan apabila kritik mengarah kepada mereka karena hal tersebut juga terjadi karena rendahnya kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah itu sendiri. Kritik dari masyarakat harus benar-benar diresapi oleh pemerintah agar kegagalan serta kesalahan yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan proses kenegaraan dapat diperbaiki karena bagaimanapun pemerintah bekerja untuk rakyat Indonesia. Ingatlah sebuah adagium dari Aristoteles yang menekankan bahwa suatu kehormataan di setiap orang itu melekat pada orang-orang yang berhak dihormati yang berbunyi “Dignity does not consist in possessing honours, but in deserving them.”
Referensi
Darmawan, R. A. (2021, Juli 26). “Viral Grafiti ‘Tuhan Aku Lapar’ di Tangerang Dihapus, Ini Kata Polisi”. Retrieved from Detiknews: https://news.detik.com/berita/d-5657189/viral-grafiti-tuhan-aku-lapar-di-tangerang-dihapus-ini-kata-polisi/amp
Hamim. (2021, Agustus 20). “Jokowi “404: Not Found”, dari Mural hingga Desain Kaus, Berujung Diburu Polisi. Retrieved from Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2021/08/20/071200378/jokowi-404-not-found-dari-mural-hingga-desain-kaus-berujung-diburu-polisi?page=all#page2
Syamsiar, C. (2009, Juli). Bentuk dan Strategi Perupaan Mural di Ruang Publik. Brikolase, 1, 33.
Tengens, J. (2011, Juli 19). Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia. Retrieved from Hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e25360a422c2/pendekatan-restorative-justice-dalam-sistem-pidana-indonesia?page=2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V
No comments:
Post a Comment