Sore itu langit berubah
menjadi kelabu, menandakan bahwa sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi.
Aku berlari-lari kecil agar cepat sampai di toko bunga setelah bermain basket
di lapangan.
Ibu menugaskanku untuk
membeli sekantung bibit bunga matahari yang nantinya akan ditanam di kebun belakang
rumah.Aku dan Ibuku sangat menyukai bunga. Tak jarang waktu luang kami gunakan
untuk merawat kebun bersama.
Tetes demi tetes air mulai
jatuh di atas kepalaku. Aku semakin mempercepat langkah menyeberangi jalan.
Tiba-tiba sebuah mobil yang melaju kencang menabrakku, tubuhku pun terpental
jauh. Kepalaku terbentur aspal begitu keras, kakiku terasa sakit sekali, dan
sekujur tubuhku menjadi lemas.
Darah mulai keluar dari
tubuhku. Hujan turun dengan derasnya, seraya membawa darahku mengalir.Kemudian,
aku melihat wanita dengan payung putih menghampiriku, sontak ia langsung
berteriak meminta tolong. Setelah itu, semuanya berubah menjadi gelap gulita.
Aku terbangun di sebuah
ruangan bercat putih. Di tubuhku menempel banyak alat-alat penyelamat yang
biasanya aku lihat di rumah sakit. Ya, sepertinya saat ini aku memang berada di rumah
sakit.
Aku memengang kepalaku
yang terasa sakit. Seorang wanita tertidur pulas di sampingku, kurasa sepertinya
ia kurang tidur, terlihat dari kantung matanya yang begitu tebal. Aku mengenali
wanita itu, ia adalah ibuku.
Tiba-tiba ibuku terbangun,
ia menangis dan segera memanggil dokter. Beberapa menit kemudian, seorang dokter
datang, Ia langsung memeriksa keadaan ku. Entah mengapa rasanya sangat sulit
untuk menggerakkan kaki kiri ku, kaku sekali rasanya.
Ibu menceritakan apa yang
terjadi sebenarnya kepadaku. Ternyata aku sudah mengalami koma selama 4 hari. Air
mata mengalir deras di pipi ku, karena kaki kiriku patah dan aku tidak bisa
berjalan. Butuh waktu yang lama untuk menyembuhkannya. Ibu memelukku erat,
mencoba membuat aku tenang.
Bosan sekali rasanya hanya
bisa tertidur di kasur rumah sakit. Aku meminta ibu untuk mengambilkan kursi
roda, karena aku ingin bermain di taman rumah sakit seraya menghibur diri menghilangkan
rasa sesak didada ini. Ibu pun mengantar ku ke taman.
Jarum jam menunjukkan
pukul 12 siang, sudah saatnya ibu menjemput adikku di sekolahnya. Dengan
terpaksa ia meninggalkan ku, ia juga berpesan agar aku berhati-hati dan segera
memanggil suster ataupun dokter apabila terjadi sesuatu.
Aku terdiam meratapi
nasibku saat ini sambil memandangi bunga-bunga di taman itu. Tiba-tiba hujan
turun dengan derasnya. Air hujan membasahi seluruh bajuku. Tanpa disadari air mata
mengalir deras di pipiku. Senang rasanya berdiam diri di bawah derasnya hujan,
karena dengan itu tidak ada yang bisa melihat bahwa saat itu aku sedang
menangis. Aku pun memejamkan mataku.
Entah apa yang menyebabkan
air hujan tidak membasahi tubuhku lagi, mengapa hujan ini berlalu begitu cepat.
Aku pun membuka mata, ternyata sebuah payung putih melindungi ku. Rasanya aku mengenal
payung itu. Payung itu sama seperti payung yang menyelamatkanku sewaktu
kecelakaan itu.
Seorang wanita mendorong kursi
rodaku. Kini aku sudah kembali berada di dalam kamar.
“Semangat Gia!” ucapnya
sambil tersenyum.
Setelah itu, ia pergi dengan
membawa payungnya. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terimakasih kepadanya.
“Loh, bagaimana Ia bisa
mengetahui namaku?” tanyaku dalam hati.
Hampir dua minggu lamanya
aku berada di rumah sakit ini. Karena keadaan ku sudah pulih, aku pun di perbolehkan
untuk pulang. Walau aku belum bisa berjalan dengan sempurna dan harus memakai
tongkat.
Hidup ku kini suram sekali
rasanya, aku sangat depresi karena tidak bisa bermain basket lagi. Aku tidak
bisa meraih mimpiku menjadi seorang altet basket.
Hari ini begitu panas,
matahari seperti mengeluarkan seluruh panas yang ia punya. Akan tetapi aku
bersikeras memaksakan diri dengan menggunakan tongkat untuk pergi menuju lapangan basket yang terdapat tak jauh dari
rumahku. Aku pergi tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada ibu.
Sesampainya di lapangan,
air mata ku menetes lagi. Ingin rasanya berteriak. Namun tiba-tiba payung putih
itu melindungi ku lagi, sehingga aku terlindung dari panasnya matahari siang
itu.
Mengapa wanita itu selalu
datang dan melindungiku? Ia selalu melindungiku dengan payung putih itu, di
kala hujan maupun panas.
Ia selalu berkata “Semangat Gia!” dengan tersenyum dan kemudian pergi secepat
kilat. Bahkan sampai saat ini aku belum mengetahui siapa ia sebenarnya.
Karena penasaran, aku
menahan tangan wanita itu, kali ini ia tidak bisa pergi lagi dariku. Aku
menanyakan padanya, siapa ia sebenarnya. Ia pun akhirnya memberitahu identitasnya.
Ternyata namanya adalah
Melati, namanya sama seperti nama bunga favorite ku. Ia adalah anak dari
seorang laki-laki yang menabrak dan menyebabkan diriku menjadi seperti ini.
Ia bercerita bahwa saat
itu ayahnya sedang dalam emosi karena bertengkar dengan ibunya, sehingga pergi
membawanya dengan mobil yang melaju kencang. Dan tanpa disengaja menabrak diriku.
Namun kini ayahnya sudah mendekam di
penjara akibat perbuatannya.
Melati merasa amat
bersalah kepadaku, terlebih di saat ia mengetahui bahwa kini aku tidak bisa
berjalan sempurna seperti sedia kala. Ia selalu mengunjungiku di rumah sakit
secara diam-diam. Payung putih itu adalah payung kesayangan nya, sehingga ia
selalu membawa nya kemana pun ia pergi.
Ia meminta maaf kepadaku
atas kesalahan ayahnya. Ia menangis karena nasib keluarganya yang berantakan.
Hatiku seakan terketuk, aku merasa iba kepadanya. Aku sudah memaafkan kesalahan
ayahnya, bahkan sebelum ia meminta maaf kepadaku. Aku memeluk Melati dengan
erat.
Setelah kejadian itu, kini
Melati adalah sahabatku. Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Melati juga membantu ku untuk bisa kembali
berjalan, sampai akhirnya aku bisa berjalan tanpa harus menggunakan tongkat
lagi. Walau aku harus berberat hati menerima kenyataan bahwa aku tetap tidak bisa
bermain basket dan meraih mimpiku menjadi seorang atlet basket.
No comments:
Post a Comment