"MASA DEPAN KONSTITUSI: EMAS DENGAN INTEGRITAS ATAU LEMAH KARENA KEPENTINGAN”
Oleh : Tias Cahyani Lestari
Indonesia sebagai negara hukum dan berdaulat memiliki sejarah panjang tentang konstitusi. Indonesia memiliki konstitusi sebagai dasar negara yang dijadikan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum berfungsi menjadi salah satu instrumen yang krusial dalam suatu negara dengan menjamin tegaknya keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakatnya. Negara tanpa hukum yang mengatur bagai hujan disertai badai. Kebebasan menjadi legal, orang-orang berakal dimusnahkan, kenikmatan menjadi segalanya bagi mereka yang liberalis. Miris.
Sebagai negara yang sudah diakui kemerdekaannya, segala sesuatu yang dijalankan harus sesuai dengan amanat konstitusi. Secara hierarki, hukum yang paling utama dan fundamental adalah konstitusi (Ngainnur Rohmah, 2021). Memaknai negara Indonesia berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machsstaat), maka pemerintah harus berdasar atas hukum dan konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutism. Fungsi konstitusi menentukan batas-batas kekuasaan. Hal ini menjelaskan bahwa segala aktivitas negara dan pemerintah harus didasarkan pada hukum.
Dari kacamata penulis, produk hukum yang sudah disahkan hari ini, umumnya berseberangan dengan amanat konstitusi. Mengapa? Hukum hari ini dikemas bukan atas dasar rakyat melainkan untuk kepentingan korporat. Rakyat semakin melarat, korporat tambah asik untuk menjilat. Perseteruan, aksi besar-besaran, pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi menjadi sebuah bentuk perlawanan rakyat yang sudah semakin kecewa dari kepemimpinan hari ini. Harus dipahami, sebagai negara hukum, tidak hanya konstitusional pasal yang harus diuji, melainkan juga proses pembuatan undang-undang.
dari seluruh perkara pengujian formil undang-undang, belum ada satupun permohonan pengujian formil undang-undang yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Fakta ini menimbulkan pertanyaan mengenai peran Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengawasan terhadap proses legislasi. Prinsip demokrasi juga menghendaki adanya kontrol. Tidak boleh ada satu bagianpun dari sistem ketatanegaraan yang tidak bisa diawasi.
Berbicara tentang masa depan konstitusi, tentu selalu berkaitan dengan nasib lembaga hukum kedepannya yang akan mengalami regenerasi. Kader atau penerus yang akan terlibat di dalam lembaga tersebut tentu menginginkan yang berkompeten dan memiliki kapabilitas apik. Dari keresahan milenial hari ini terhadap produk hukum yang sudah legal menimbulkan kekecewaan yang tebal. Penulis mewakali suara milenial hari ini, turut berdukacita dengan kabar reformasi dikorupsi. Rakyat memiliki harapan tebal dengan milenial hari ini yang dapat menyelamatkan suara rakyat demi keberlangsungan hidup yang baik.
Amanat Konstitusi dalam pembukaan UUD 1945, frasa yang berbunyi “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” merupakan sebuah tujuan bangsa ini didirikan. Dengan memastikan masa depan konstitusi lebih cerah, penulis sempat berdiskusi hangat dengan salah satu mantan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Universitas Indonesia tahun 2020, Bung Fawzi Muhtadi. Dari perbincangan hangat tersebut, penulis merangkum bahwasanya milenial Indonesia perlu mengetahui tiga strategi sederhana untuk perbaikan konstitusi ke depan:
Pertama, milenial harus mengupgrade kapabilitas diri. Mengapa? Karena bagaimanapun juga tantangan millenial kedepannya tentu bertemu dengan permasalahan kompleks dan persaingan yang ketat, sehingga memerlukan problem solving yang tepat. Masa depan konstitusi ditentukan pula dari milenialnya yang meregenerasi dalam memperbaiki iklim hukum. Integritas serta tekad yang teguh menjadi modal untuk melanjutkan visi dari konstitusi. Ciri-ciri kepemimpinan visioner yaitu menggunakan inspirasi bersama yaitu kepercayaan diri, kesadaran diri dan empati (Goleman, 2002). Mengupgrade diri sendiri, bisa dipertajam dengan membaca buku, baca berita, memiliki circle yang positif, dan menguasai 4C (Critical thinking, Colaboration, Creative, Communication). Sejatinya hal itu tidak hanya bermanfaat untuk diri sendiri melainkan agar menjadi manusia versi lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, milenial perlu mengupgrade dari aspek masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa para penguasa yang saat ini duduk memangku jabatan seperti DPR, MPR, dan Presiden merupakan hasil suara yang diberikan rakyat. Maka dari itu, langkah cerdas milenial bisa bergerak dengan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai keresahan kepemimpinan hari ini yang membuat mayoritas masyarakat mengalami ketidakpuasan atau tidak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara tanpa mencampuradukkannya dengan berita bohong. Saat mengedukasi sampaikanlah faktanya. Marilah untuk lebih selektif dan cerdas dalam memilih pemimpin, dengan tidak memilih penguasa-penguasa yang memang sudah diketahui riwayat kekuasaannya karena kepentingan. Sejatinya harapan terbesar rakyat kepada pemerintah ialah tidak lain dan tidak bukan agar negara ini dapat menjalankan amanahnya sebagai negara hukum yang berkeadilan.
Ketiga, masuk ke dalam sebuah sistem. Hal ini mengingatkan penulis dengan salah satu teori psikologi sosial dari Kurt Lewin (Ginsburg, dkk, 2012) mengatakan kita tidak dapat mengubah suatu sistem jika kita tidak masuk ke dalam sistem tersebut. Jangan pernah menjadi orang yang merutupi kegelapan, dan jadilah cahaya jika kita di dalam kegelapan. Begitu juga, jika kita memiliki suatu kecintaan atau rasa cinta terhadap Indonesia, dan memiliki potensial berupa kepedulian yang tinggi terhadap nasib bangsa tentu cita-cita ini perlu diteruskan yaitu dengan masuknya milenial ke dalam sebuah pemerintahan atau sistem. Jika sudah bergabung ke dalam suatu sistem, milenial bisa memberi kontribusi berupa kebijakan yang relevan sesuai amanat konstitusi. Sebuah progres yang kecil jangan dianggap remeh, hal ini juga menjadi salah satu reminder untuk penulis, bisa dikatakan faktanya seperti inilah sistem di negara kita. Berbagai pengajuan berupa uji formil, uji materiil, judicial review, constitusional review, pada akhirnya hal ini akan menjadi percuma jika dari pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang masih memiliki sosok yang mengendalikan kekuasaan di negara ini. Mengakibatkan situasi hukum di Indonesia seperti “tajam ke bawah tumpul ke atas”.
Dari hasil perbincangan hangat bersama Bung Fawzi, meninggalkan pesan bahwa penting sekali sejak dini untuk merawat sebuah independensi yang ada di dalam diri. Masa depan negara dan konstitusi ada di tangan milenial, entah kedepannya akan emas karena integritas atau kembali lemah karena sebuah kepentingan. Pesan penulis, tetaplah bermunajat kepada Tuhan yang maha membolak-balikkan hati manusia, agar hati kita dapat diteguhkan dan menjadi mitra kritis bagi pemerintahan yang sedang berdiri demi terciptanya optimalisasi dalam sebuah sistem. Anies Baswedan mengatakan bahwa masa depan mahasiswa tidak hanya dibuat atau dibangun hanya dengan selembar kertas ijazah, anda harus menjadi manusia baru, lebih dari sekedar peneliti, lebih dari sekedar pengajar, tetapi anda harus menjadi pemimpin di Indonesia.
in di Indonesia.
Daftar Pustaka
Amanwinata, R. (1996). Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul dalam Pasal 28 UUD 1945. Disertasi.
Ginsburg, dkk. (2012). Big Ideas Simply Explained. New York: DK Publisher.
Goleman, D. (2002). Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ngainnur Rohmah, S. (2021). Implikasi Perubahan Konstitusi 1945-1959 Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia. Jurnal Sosial dan Budaya Syar'i, 8(1).