|
Bagi Gita, hidup susah sudah biasa. Gita
adalah anak kedua dari tiga bersaudara kandung. Namun, ia terlahir dalam sebuah
keluarga poligami. Sehingga, Gita
adalah anak keempat dari enam bersaudara. Ia pun dilahirkan dalam keluarga
sangat sederhana. Tak ada kata mewah dalam hidupnya.
Kisah ini dimulai dari cerita cinta ayah dan
ibu.Cerita cinta yang tidak direstui oleh sang ibunda. Ibunda yang menjodohkan
ayah pada wanita lain. Namun, sebagai
pria, ayah tetap memperjuangkan cintanya kepada ibu. Hingga ayah pun memutuskan
menikah pula dengan ibu.
Hari demi hari terus berlalu. Hingga lahirlah
gadis mungil sebagai anak perempuan yang didambakan dikeluarga ini, setelah adanya
Fajar sebagai anak laki-laki pertama. Ia adalah Gita Dwi Pratiwi.
Semua berjalan lancar dan terasa normal.
Ya, hanya terasa, padahal ada fakta yang tidak senormal itu. Hingga pada usia
Gita yang kedelapan tahun, ia mendapatkan satu fakta mencengangkan. Fakta yang dinyatakan
oleh seorang ibu yang telah lelah ditanyai oleh putri kecilnya perihal, “dimana
ayah?”. Ya, ayah tidak ada di rumah setiap malam. Miris, 365 hari dalam setahun,
namun hanya maksimal lima hari ia bermalam di rumah. Ditambah, Minggu dan hari libur,
ayah pun tak ada di rumah.
Disiang hari itu, dunia Gita terasa runtuh.Bagaimana
tidak, gadis kecil yang begitu mencintai ayahnya ini, merasa bagai ditampar pedihnya
kenyataan, bahwa laki-laki yang ia cintai ini telah berkhianat. Mempunyai keluarga
dan anak di luar sana. Padahal, gadis ini selalu merindukannya setiap waktu.
Ayah sangat mengetahui betapa kecewanya hati
gadis kecilnya ini. Kata maaf dan segala penjelasan ayah pun, terasa bagai angin
lalu ditelinganya. Bagai perasan jeruk nipis pada luka yang basah. Hanya menambah
pedih.
Dua kalimat yang dapat ia cerna pada waktu
itu ialah: “Ini sudah suratan takdir kak, ini bukan salah ibu atau nenek. Ini salah
ayah, ayah minta maaf atas takdir ini”. Air matanya semakin menjadi-jadi,
tangis kecewanya tak dapat dibendung lagi. Itulah patah hati pertama gadis kecil
ini.
Keesokan dan seterusnya, Gita mencoba berdamai
dengan keadaan. Ia membuka hatinya untuk menerima takdir Ilahi ini dengan ikhlas
dan memaafkan sang ayah. Walau, kadang tiap malam ia sering menangis diam-diam jika
rindu untuk tidur dalam dekapan hangat sang ayah.
Namun, rasa cinta Gita masih melebihi
rasa sakit dan kecewanya pada sang ayah. Baginya, ayah masih menjadi sosok idolanya.
Ayah sosok yang sangat bertanggung jawab baginya. Sosok pria dewasa yang adil,
penyayang, dan menjadi panutan bagi Gita.
Inilah kehidupan. Tak ada yang
benar-benar sempurna. Apa yang bagimu indah, belum tentu baik bagimu. Begitu
pun sebaliknya, apa yang kau benci dan menurutmu buruk, terkadang itu lebih baik
bagimu. Bukalah diri, ikhlas menerima adalah kunci dari ketenangan. Ada
kekurangan disetiap kelebihan. Cintailah sewajarnya. Membenci sekadarnya. Serahkan
segalanya pada Tuhan. Dan jangan menyesali takdir Ilahi. Hapuslah kesedihanmu,
Gita.
No comments:
Post a Comment