/1/
Kurasa tidak ada lagi yang begitu tulus dan putih.
Merah, berlumur darah begitu pekat
Teriak, beriak hingga memekak begitu dekat
Tak berdaya, didekap begitu erat
Bergandeng, berlinang bukan lagi air
tetapi cinta dengan ketulusan hakikat
Tatapan itu jelas bias
Bahkan tak santiran dalam paras
Yang nyata justru cinta sebabkan
Jelas tak terbantah penuh cinta-
dan darah berikatan
/2/
Kemudian, setiap malam mata bersemburat
Acuh akan lelap dan esok hari sehat
Ingin hanya tumbuh untuk aku yang begitu cerewet
Bernyanyi hanya oek-oek-oek dengan air mata-
di tengah bulanpun sedang terjaga
Begitu tegap, berkambium, lebat, subur tak terbantah
Ku yakini tumbuhnya begitu sukar penuh lelah
Diterpa dersik, bertahan dalam kerontang
Dihujani asam, dihinggapi hama tanpa berpegang
Hingga dapat memberiku keteduhan
Membawakan segala cinta yang anindhita-
meraki, penuh eunoia
Hingga orokku berpanen harsa
Berbuah sahaja dan bernas sentosa
/3/
Aku memasuki kanak-kanak
Masih dalam dekap penuh kata lunak
Sembari berjalan, kemudian belajar berlari
Tangan dan tubuh itu tetap berdikari
Eling, tak biarkan tubuh ini tersengat-
bahkan oleh matahari
Bijak, merapalkan setiap lema baik
Untuk melunakan hati yang sering mengusik
Pongah, seolah tidak ada
Bahkan untuk sebuah percik saja
Angkara, bukan menjadi bagiannya
Ku rasa setiap malaikat pula
Hanya bait-bait penuh kasih
Yang terus melukiskan setiap kisah
/4/
Masa merangkak beriring tumbuhku
Usiaku menjalar berdigit dua
Sedang malaikat itu kian menua
Tetapi tingkah polahku acap kali-
durhaka
Nadanya selalu beresonansi rendah
Sedang suaraku sering kali berkelit lidah
Bahkan meninggi membantah
Tindak tandukku bukan lebih indah
Seringnya malah mengundang amarah
Namun, tulus cintanya membawakan pasrah
/5/
Aku meratapi masa ruai itu
Kini, ku tahu betapa pedihnya-
hati putih itu
Ketika penuh coretan noda diksi dan tingkah
Dari anak yang tumbuh atas kasih-
dan cintanya
Sesalku kini terus menjelma
Anggasta dalam hati penuh nestapa
Setelah Pemilik Ruh, memanggil jiwanya
Bahkan tak menyisahkan sedikit saja tawanya
/6/
Cakap penghujungmu jadi baris yang terukir
Cinta kasihmu tidak pernah ada akhir
Itu yang menyumbat air mata ini
Sekalian juga melancarkan isaknya
Harusnya ku yakini
Odemu adalah baris tanpa henti
Serenada adalah nadi dari hati
Sementara balasku seringkali melahirkan elegi
/7/
Ibu, itikadku bernaluri
Menjaga tiap bait yang terujar
Dari dikau yang penuh nurani
Pintaku pada ujung hidup ini-
aksama Tuhan beri
Hingga serat-serat hidup ini
Bersatu kembali
Di jagat yang abadi