2045 Indonesia Emas Bukan
Dongeng
Oleh: Tias Cahyani Lestari, Universitas Negeri
Jakarta
Berbicara tentang masa depan tentu kita akan
sering bermain dengan imajinasi mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi di
masa mendatang. Gagasan serta ide terus bermunculan guna menyumbangkan aspirasi
demi perbaikan dalam beberapa bidang. Ketika mendengar narasi bahwa Indonesia
emas akan terjadi di tahun 2045, penulis nampak tertarik untuk mengulas akan
ada revolusi apa saja di tahun tersebut.
Tahun 2045 mendatang Indonesia genap
berusia 100 tahun setelah 74 tahun merdeka. Di usia yang tidak lagi muda,
menandakan bahwa bangsa kita akan menangani persoalan-persoalan yang serius.
Mulai berkeinginan untuk mencapai pendidikan yang inovatif, sumber daya manusia
yang berkualitas, kemajuan teknologi, pemerataan pembangunan terlaksana, dan
lain sebagainya. Indonesia pun sudah mencanangkan jargon untuk mewujudkan
Indonesia emas di tahun 2045.
Visi Indonesia di tahun 2045 ialah menjadikan
Indonesia sebagai Megatrend Dunia.[1]
Visi tersebut akan diselaraskan bersama misi yang tidak kalah spektakuler,
seperti pengembangan sumber daya manusia, penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, ketahanan
nasional dan tata kelola kepemerintahan. Akan tetapi, perlu diingat dan
dicatat, untuk menghadapi tantangan Indonesia emas di tahun 2045, faktor
pendidikan menjadi persoalan yang sangat krusial, yang perlu diintegrasikan
oleh pemuda bersama pemerintah sebagai pionir dalam menjemput Indonesia emas.
Dikutip dari Depdidbud (1999),
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Pendidikan tidak hanya mencakup proses transfer dan transmisi ilmu
pengetahuan, tetapi juga merupakan proses yang sangat strategis dalam
menanamkan nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia.
Sebelum memasuki masa keemasan tiba,
Indonesia diperkirakan akan menghadapi bonus demografi di tahun 2030.[3]
Keadaan tersebut sempat menggetarkan apa yang akan terjadi di hari esok jika
tidak diserasikan dengan SDM yang terdidik dan kompeten. Jangan sampai perkara
pengangguran meningkat jumlahnya dan menjadi beban negara. Karena emas atau
tidaknya Indonesia di 2045 sebenarnya sedang ditentukan oleh pemudanya hari ini
sedang berbuat apa.
Mari sejenak kita berkaca pada
sejarah, yaitu dari lahirnya organisasi Boedi Utomo pada 20 Mei 1908 yang
merupakan awal kesadaran pergerakan nasional dan bangkitnya pemuda dalam
menggalang semangat persatuan dan kesatuan meraih kemerdekaan. Kemudian pada 28
Oktober 1928, Soegondo dengan lantang membacakan ikrar sumpah pemuda sebagai
cita-cita berdirinya negara Indonesia. Peristiwa sejarah di masa lalu masih
membekas dan menjadi bukti, bahwasanya sejak dahulu para pemuda sudah mengambil
andil. Hingga kini, potensi pemuda jelas menginspirasi dan mengiringi jalannya
sebuah peradaban.
Beberapa pekan yang lalu penulis
mencari sumber diinternet mengenai kawasan 3T (terdepan, terluar, tertinggal)
di Indonesia yang dari segi pendidikannya masih amat tertinggal. Lalu penulis
menemukan salah satu aktivitas dari komunitas Sokola Institute yang didirikan
oleh perempuan batak yang biasa di sapa Butet Manurung. Sejak kecil Butet sudah
memiliki tekad dan cita-cita untuk mentransfer ilmunya kepada anak-anak rimba
di pedalaman. Awal mula perjalanan Butet merintis Sokola Insitute bersama
rekan-rekannya di lakukan di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Di sana mereka mengajarkan anak-anak
rimba seperti pendidikan dasar, membaca, menulis, dan berhitung.
Sistem belajar orang rimba pun jelas berbeda dengan siswa-siswa lain. Mereka
lebih memanfaatkan alam sebagai media dalam belajar. Misal, menggunakan biji
karet untuk berhitung dan mengenalkan macam-macam huruf. Terkadang muncul
pertanyaan kritis dari anak-anak rimba yang belum yakin bahwa pendidikan bisa
menyelamatkan mereka dan hutan sebagai warisan dari nenek moyang.
Butet mencoba memotivasi dan
meyakinkan anak-anak rimba bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat
krusial, dengan pendidikan mereka bisa menyelamatkan hutan dari serangan orang
luar yang tak berbudi. “sekolah membantu kami supaya tidak ditipu orang luar.
Tetapi kalau adat tidak dipelajari, tidak akan membantu, karena nanti kembali
kita yang menanggung kesalahan.” (Malekat Tumenggung Mirak, pemimpin adat orang
rimba).
Kita dapat mengetahui bahwa ada induk
permasalahan pendidikan yang terjadi di kawasan 3T, dikarenakan sarana dan
prasarana yang belum memadai sehingga akses teknologi pun terhambat.
Kanak-kanak pun terus berusaha belajar seadanya dan semampunya. Ketidakmerataan
pendidikan tersebut salah satunya disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut data
Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2014, lebih dari 4,7 juta anak Indonesia
usia antara 7-18 tahun tidak bersekolah. Salah satunya penyebab utamanya adalah
alasan ekonomi. Variabel jarak sekolah dengan tempat tinggal, jenis pekerjaan orang tua, jumlah
tanggungan keluarga, latar belakang pendidikan orang tua, tingkat pendapatan
orang tua dan kegiatan produktif anak dalam rumah tangga berpengaruh terhadap
anak putus sekolah.
Sudah semestinya pemerintah lebih concern
kembali dalam mengawasi jalannya subsidi pendidikan. Pidato Presiden Republik
Indonesia mengenai Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2020 menyebutkan anggaran pendidikan pada 2020 sebesar Rp 505,8 triliun. Angka
ini meningkat 2,7% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 492,5 triliun.
Sesuai dengan bunyi Pasal 31 ayat 4 yang berbunyi: Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Kemudian jika kita perhatikan dalam UU
No. 14 tahun 2005 Pasal 14 ayat 1 huruf (a) yang berbunyi: “Dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan, guru berhak: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial”. Sadar atau tidak sadar
problematika pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari hal yang sudah
dipaparkan di atas.
Dengan besarnya jumlah anggaran subsidi untuk
pendidikan, besar pula harapan rakyat kepada Pemerintah sebagai pemangku
jabatan untuk bernusantara di sudut-sudut Ibu Pertiwi. Kelak Pemerintah dapat
mengetahui betapa terbatasnya sarana dan
prasarana pendidikan yang belum mengalami peningkatan mutu serta kesejahteraan
tenaga pengajar di Indonesia yang masih dipertanyakan.
Dari perjalanan Butet Manurung
mengajar, sudah seyogianya pemuda dapat berkontribusi dalam menjemput
perubahan. Peran pemuda dan pemerintah sebagai kontrol sosial dapat
berkolaborasi bersama penduduk setempat dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan
terkait esensial pendidikan. Fungsi dari penyuluhan tersebut menginginkan agar
penduduk setempat lebih terbuka bahwa pendidikan mampu menjadi resolusi.
Masyarakat pun akan lebih paham bagaimana menanggulangi
permasalahan-permasalahan yang timbul. Dengan adanya kesadaran yang mulai
tumbuh, mereka dapat meningkatkan taraf kehidupannya melalui pengetahuan yang
berkembang. Sebagaimana dalam firman Allah berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum
itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (Q.S Ar-Ra’d 13:11).
Penulis pun mendukung program pemerintah
melalui Penguatan Pendidikan Karakter yang diatur dalam Perpres No. 87 Tahun
2017. Prinsip dan pendekatan pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
akan dilakukan secara berkelanjutan, dilakukan melalui semua mata pelajaran,
pengembangan diri, budaya sekolah, nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan, dan
proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Selain penguatan dalam pendidikan karakter, hendaknya pemuda juga memegang
keterampilan yang ada di abad 21. Pendidikan di era sekarang diperuntukan untuk
mempertajam empat hal, yang disingkat 4C, yaitu Critical Thinking
(berpikir kritirs), Creativity (kreativitas), Collaboration
(kolaborasi), dan Communication (komunikasi).
Jika Indonesia emas di 2045 tidak
ingin menjadi dongeng, sebaiknya kita berangkat dari hal kecil yang bisa
membawa ekspetasi nan menakjubkan. Sebagaimana Soekarno melafazkan tutur
bijaknya, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya.
Beri aku 10 pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia”. Jika di luar sana
orang-orang hanya bisa berkeluh menanti perubahan, di sini penulis mencoba
berkutik lewat tulisan persuasif yang konstruktif. Jika ada dari kita yang
meninggalkan masa muda tanpa ada peningkatan ibadah yang tinggi, tanpa ada
prestasi yang diraih, tanpa ada karya yang menginspirasi, tanpa ada kontribusi
yang berarti, maka sungguh kita telah zalim kepada diri kita sendiri.