Oleh
: Muhammad Syirot Hidayat Khoironi
Belakangan ini kita dihebohkan
dengan pertemuan dua anak bangsa terbaik di lebak bulus yakni Presiden terpilih
Joko Widodo dengan lawannya Prabowo Subianto. Pertemuan ini seakan menjawab
tragedi kemanusiaan di sekitar tanggal 22 mei lalu tentang kerusuhan di Jalan
M.H Thamrin tersebut, meskipun beberapa pihak masih berat hati menerima
keputusan Mahkamah Konstitusi setidaknya pertemuan di Lebak Bulus itu
memberikan kesejukan tersendiri bagi kedua pendukung Pak Jokowi dan Pak
Prabowo. Apalagi dengan dikeluarkannya statemen Pak Jokowi yang mengatkan bahwa
tidak ada lagi 01 dan 02 yang kemudian disambut dengan ucapan Pak Prabowo yang
memberikan selamat bekerja kepada beliau. Namun, kita tidak boleh larut dalam
pertemuan dua putra bangsa terbaik ini,kita harus memikirkan
persoalan-persoalan bangsa lainnya, karena sejatinya begitu banyak persoalan
bangsa ini yang belum terselesaikan, pandangan kita semua tertuju pada
pertemuan tersebut sampai lupa bahwa salah satu persoalan yang harus
dituntaskan ialah belum diisinya kursi DKI 2 ,hampir kurang lebih 11 bulan Pak
Anies menjalankan pemerintahan sendirian dengan ditinggalkannya Bang Sandi yang
maju dalam kontestasi pemilu 2019 praktis kursi DKI 2 saat ini kosong tidak ada
yang mendudukinya.
Walaupun secara regulasi di
undang-undang tidak ada aturan-aturan yang menyebutkan bahwa tidak boleh
Gubernur bekerja sendirian tampaknya jika dilihat secara manajerial DKI Jakarta
bukanlah suatu permasalahan yang kecil, begitu kompleks permasalahan di Ibukota
ini mulai dari kemacetan, polusi, reklamasi, lapangan pekerjaan, hingga
persoalan-persoalan lainnya nampaknya tidak akan mungkin Gubernur bisa
menuntaskannya sendirian maka dari itu, diperlukannya pendamping untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Di beberapa media Pak Anies juga
mengeluhkan terkait pembagian jadwal undangan-undangan dari pejabat penting dan
lainnya praktis Pak Anies tidak bisa menghadiri seluruh undangan yang dikirim
kepadanya karena sejauh ini beliau belum memiliki pendamping. Dari akibat tidak
diisinya kursi DKI 2 ini sebenernya akhir-akhir ini mulai terlihat dengan
dikritiknya kebijakan Anies terkait Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Pulau D di
Teluk Jakarta tersebut, itu menandakan beban yang dipikul Pak Anies ini cukup
berat. Maka dari itu, diperlukannya sosok figur pengganti Bang Sandi yang dapat
menemani Pak Anies hingga akhir pemerintahannya.
Sebenarnya jika mengikuti
rangkaian-rangkaian pemilihan Wakil Gubernur ini tinggal menunggu keputusan dari
DPRD karena dari partai pengusung PKS dan Gerindra sudah mengusulkan dua nama
yakni Agung Yulianto dan Ahmad syaikhu, terkait persoalan ini sebetulnya sudah
di sorot langsung jauh-jauh hari oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, beliau menyurati
Pak Anies agar segera diisi kekosongan kursi DKI 2 agar pemerintahan di DKI
Jakarta berjalan dengan maksimal, beliau juga menambahkan bahwa partai
pengusung pemenang pemilu DKI ini hanya dua partai seharusnya mudah untuk
mengambil keputusan secara mufakat. Lantas apa yang membuat rangkaian pemilihan
Wakil Gubernur DKI Jakarta ini begitu sedemikian lamanya? Pertama kita harus
tahu betul bahwa proses kontestasi pemilu di 2019 ini menguras waktu yang cukup
lama hingga tarik ulur kepentingan di dalamnya turut mempengaruhi proses
penetapan pemilihan Wakil Gubernur ini. Kemudian kita harus paham betul bahwa
DKI Jakarta ini adalah tempat yang strategis bagi keberlangsungan dinamika
politik di Indonesia. Jika saja 2022 Anies menasbihkan dirinya sebagai calon presiden
RI 1 bukan tidak mungkin Wakil Gubernur akan naik satu level menjadi penguasa
di Ibukota, dan kita harus paham betul bahwa DKI Jakarta adalah wadah dimana
representasi sketsa Indonesia secara jelas dapat terlihat, dimana didalamnya
ada kepentingan-kepentingan ekonomi, mode transportasi mulai terhubung dari
yang satu ke lainnya, pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan juga wadah
bertemunya seluruh suku,ras,agama dan etnis mengadu nasib disana. Kedua lamanya
proses di DPRD sebetulnya sudah harus dilakukan pemilihan wakil gubernur namun
karena ketika itu belum memenuhi kuorum 50% + 1 maka belum diperbolehkan
dilakukannya pemilihan wagub DKI Jakarta. Bila berkaca pada mundurnya rapat
paripurna pemilihan Wagub seakan kita disuguhkan pada sandiwara-sandiwara elite
politik saja, jika kita berfikir secara rasional sudah sepatutnya ketika ada
agenda penting seperti itu selayaknya mereka semua hadir agar proses pemilihan
Wagub ini dapat segera terselesaikan, namun dalam laporannya sebagaian besar
tidak hadir dan rapat ditunda sampai ada himbauan selanjutnya.
Pemilihan Wagub ini bisa saja
diselesaikan secara cepat andai saja dua partai pengusung Gerindra dan PKS mau
menurunkan egonya masing-masing. Dari pernyataan statemen pihak Gerindra
sebenarnya sudah menyerahkan kursi tersebut kepada PKS akan tetapi ada saja
oknum-oknum yang menghambat proses pemilihan Wagub DKI Jakarta ini, sehingga
banyak memunculkan perspektif-perspektif yang liar , banyak kabar-kabar burung
yang menyebutkan bahwa Bang Sandi akan kembali, namun statemen itu dibantah
oleh beliau yang menkankan akan fokus menjadi oposisi dan tidak akan kembali
menjadi Wagub kembali, jika kita melihat secara undang-undang memang tidak ada
satu pasal pun yang melarang Bang Sandi untuk mendampingi Anies kembali akan
tetapi banyak yang mengatakan bahwa tidak etis jika beliau kembali ke DKI 2. Ibarat
memakan jeruk yang sudah di muntahkannya akan tetapi masih mau menjilatnya
walaupun sudah jatuh ke tanah. Akan tetapi politik tidak seperti itu , politik
selalu dinamis tidak ada yang bisa menduganya siapapun karena tidak ada
pertemanan yang abadi , yang abadi hanya kepentingan-kepentingan tersebut.
Dengan molornya pemilihan Wagub ini semakin kencang berhembus bahwa ada
manuver-manuver politik yang menyebutkan bahwa Gerindra juga akan mengajukan
satu perwakilan calonnya, pemilihan ini memang cukup menarik untuk di cermati.
Kita baru akan tau setelah pansus dan panli menyepakati tata tertib yang
mengharuskan rapat harus memenuhi kuorum.
Dari sini sebenarnya kita melihat
bahwa politik memiliki 2 sisi yang jauh berbeda penulis menyebutnya sebagai
panggung depan dan panggung belakang, panggung depannya bahwa kita harus
menyadari betul bahwa janji sudah terlanjur dibuat bahwa Partai Gerindra sudah
secara implisit menyebutkan akan memberikan kursi Wagub kepada PKS namun
seperti yang penulis katakan di awal paragraf bahwa politik tidak bisa hanya
dilihat dari sisi panggung depan namun kita juga harus melihat bahwa panggung
belakangnya ini yang membuat masyarakat bertanya-tanya apa sebetulnya yang
membuat proses pemilihan Wagub ini berjalan sebegitu demikian lamanya, dengan
terus di ulur-ulurkannya proses ini semakin masyarakat tidak percaya terhadap
proses pemilihian Wagub yang sedang berlangsung. Wajar saja jika nantinya
masyarakat tidak percaya terhadap proses ini, bahkan bisa saja masyarakat
menduga-duga bahwa ada transaksi dibalik panggung belakang ini yang wujudnya
benar-benar gelap dan tidak bisa terlihat. Semua keputusan kita serahkan kepada
DPRD dan stakeholder terkait dengan tetap mengawasi jalannya proses ini, sambil
berharap bahwa mereka semua yang disana tetap mengutamakan kepentingan publik
dibanding kepentingan golongan maupun pribadi.