Oleh: Maulana Malik Ibrahim
“Pancasila adalah sebuah produk ideologi yang moderat”
Pelbagai kasus yang mengancam integrasi nasional muncul ke permukaan seiring dengan adanya konotasi “Luntur leburnya Nilai Sah Bangsa (Pancasila)”. Kasus Intolerasi merebak bukan hanya di kota-kota, tetapi juga sentimen simbol keagamaan juga mewabah di pelosok daerah yang biasanya mereka hidup rukun bahagia. Tidak berhenti pada permasalahan intoleransi, memudarnya semangat gotong royong, dan juga bobroknya sistem demokrasi menjadi sayatan luka bangsa tersendiri yang belum bisa diobati. Permasalahannya terletak diantara dua komponen Negara, antara pemerintah dan rakyatnya sendiri, ada sebuah satir yang mengungkapkan bahwa “Rakyat adalah cerminan dari pemerintahan” maka dalam hal ini, khususnya dalam kasus memudarnya nilai akar budaya bangsa tidak serta-merta harus menyalahkan kedua komponen tersebut, karena mereka semua ikut dalam semua konflik serta harmonisasi yang tercipta di negara ini dan seharusnya komponen bangsa tersebut dapat saling intropeksi massal untuk merekonstruksi akar budaya bangsa yang telah dimaktubkan menjadi sebuah ideologi bangsa, yaitu Pancasila.
Mengutip pernyataan dari seorang Jurnalis Amerika Abad-20, Walter Lippmann “Picture In Our head” atau sering disebut “gambaran umum dalam kepala” bahwa paradigma yang ada pada pikiran penulis bukanlah sebuah generalisasi yang dijatuhkan pada dua komponen yang ikut andil dalam lunturnya nilai bangsa ini, akan tetapi penulis memandang bahwa akar masalah yang timbul ini bisa saja disebabkan oleh kedua komponen tersebut yang mungkin belum bisa bersinergi dalam membangun serta menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila. Perlu dipahami bahwa Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa telah jauh memenuhi kata sah secara faktual serta implementatif, karena kenyataan yang ada sekarang berbanding terbalik dengan hal normatif pada nilai Pancasila.
Dalam sejarah perkembangan perumusan Pancasila, banyak ditemukan persoalan-persoalan yang pernah dikatakan Soekarno sebagai persoalan yang “Njelimet”, banyak perdebatan tentang dasar negara mengenai negara islam atau plural, liberal atau komunis, kapitalis atau sosialis. Semua gelagat keinginan kelompok tumpah ruah saat prosesi penyampaian gagasan tentang dasar negara, penting sekali bahwa dasar negara haruslah secepat mungkin ditemukan agar menjadi suatu pemicu nilai mana yang akan bangsa ini gunakan serta implementasikan, ketika fundamennya belum ada maka rakyat akan bimbang. Ketika semua gaduh dalam suasana panas Sidang BPUPKI I (29 Mei-1 Juni 1945), Soekarno mencoba untuk meredakan ketegangan itu dengan berpidato mengenai dasar negara (Philosophie Grondslag) ataupun dapat disebut penghayatan hidup bangsa Indonesia yang disebut Pancasila “Lima Dasar”. Diatas inilah negara Indonesia dibangun, fondasi inilah yang mencegah kehancuran bahkan runtuhnya Negara ini. Jika lima sila tersebut diperas hanya menjadi tiga sila akan dinamakan “Tri Sila” yang artinya paham bangsa ini adalah Sosio-Demokrasi, Sosio-Nasionalis, dan Ke-Tuhanan (semua untuk semua, bukan hanya golongan tertentu saja untuk Indonesia), demokrasi yang dianut ialah demokrasi Indonesia yang memahami konsepsi musyawarah mufakat bukan seperti demokrasi barat yang sebagai mana adanya. Dan jika dari tiga sila tersebut hanya direduksi menjadi satu sila “Eka Sila” paham Negara Indonesia ialah “Gotong Royong”, disini paham gotong dapat dimaknai sebagai simbol dinamis yang sewaktu-waktu bisa dipadu-padankan dengan tuntutan zaman yang ada, dan juga lebih dari sekedar simbol persaudaraan dan kekeluargaan. Pancasila sebagai filosofi hidup bangsa Indonesia betul-betul diambil dari nilai budaya asli Indonesia dan sama sekali tidak diambil dari paham Liberalis ataupun paham Komunis, “Pancasila adalah sebuah produk ideologi yang moderat” Tutur Soekarno.
Sebuah jalan terjal kesejarahan yang dipikul berat oleh orang-orang yang ingin sekali memiliki fondasi ketatanegaraan. Dari apa yang telah dicetuskan oleh Soekarno itu dijadikan nama dari dasar negara Indonesia, lagi-lagi rumusan butir-butir Pancasila oleh panitia 9 kembali dirombak agar sesuai dengan nilai dan karakter bangsa yang asli, sehingga nantinya tidak akan menimbulkan polemik ketika negara sudah berjalan. Tak bisa dipungkiri bahwa dalam upaya perumusan Pancasila sebagai dasar negara, banyak yang menginginkan negara ini dibangun atas golongan apa yang paling banyak jumlahnya, tak jarang intervensi bahkan Lobbying menjadi faktor penentu di kala itu. Pada saat perumusan ulang Pancasila diketahui terdapat lima butir sah yang diyakini sebagai fondasi utama bangsa Indonesia yang berdaulat dan merdeka, berikut butir-butir Pancasila yang dicetuskan pada 22 Juni 1945:
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Pesatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Dari kelima butir diatas dapat ditarik simpulan bahwa dasar negara Indonesia sudah matang dan siap untuk menjadi pedoman hidup rakyat Indonesia. Akan tetapi, lagi-lagi pro-kontra terjadi saat perumusan sila pertama, banyak yang menganggap pada sila pertama hanya mewakili satu agama dan tidak merepresentasikan pengakuan atas agama yang lain. Pertimbangan yang lainnya untuk pengubahan sila pertama bahwa Negara Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang hingga Merauke, itulah yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu. Ancaman lain yang memberikan dampak nyata adalah ingin lepasnya bagian Timur Indonesia yang merasa tidak terwakili suaranya di dalam perumusan dasar negara tersebut. Pada 18 Agustus 1945 menjadi titik tolak pluralisme yang ada di Indonesia dimenangkan, pada hari itu frasa “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya” digantikan menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai pengejawantahan atas Negara multikultural. Pada saat prosesi pengesahan Pancasila sebagai dasar negara, didapati lima nilai bangsa yang temaktub dalam mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, antara lain:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Perlu dipahami bahwa konteks logika Pancasila yang dibangun tersebut atas dasar perasaan sama-sama dijajah dan dirampas kemerdekaannya oleh bangsa lain. Semua elemen bangsa bersatu untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, tak kenal agama, ras, suku, dan adat istiadat, semua berkumpul menumpahkan gagasan serta kegelisahannya untuk mencapai “Indonesia Merdeka”. Penjabaran nilai-nilai Pancasila yang disahkan pada Sidang PPKI ke-2 (18 Agustus 1945) merupakan bentuk tertinggi nilai-nilai normatif bangsa Indonesia.
Pertama, secara ontologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar sila-sila Pancasila. Menurut Notonagoro, hakikat dasar antologi Pancasila adalah manusia, karena manusia ini yang merupakan subjek hukum pokok sila-sila Pancasila. Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak, yang berupa sifat kodrat monodualis yaitu sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi yang berdiri sendiri dan sekaligus juga sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya, Pancasila dijadikan dasar negara Indonesia adalah segala aspek dalam penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan kodrat manusia yang monodualis tersebut.
Kedua, kajian epistemology, Filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan adanya karena epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistemologi Pancasila ini tidak bisa dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena itu, dasar epistemologis Pancasila sangat berkaitan dengan konsep dasarnya tentang hakikat manusia. Sebagai suatu paham epistemologi, Pancasila mendasarkan pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Pancasila secara epistemologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun perkembangan sains dan teknologi pada saat ini.
Ketiga, kajian aksiologis Filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan mengenai Pancasila. Hal ini disebabkan karena sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Aksiologi Pancasila ini mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang mengakui, menghargai, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai. Pengakuan, penerimaan dan penghargaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan bangsa Indonesia.(Dewantara, 2017)
Rumitnya penyusunan Pancasila hingga Pancasila sebagai filsafat negara memiliki kerangka yang jelas dalam manifestasi nilai-nilai budaya Indonesia. secara gamblang kita melihat bahwa terdapat sebuah kontradiksi dalam teori yang dirumuskan dan juga pelaksanaan yang belum sesuai dengan apa yang di harapkan. Diperlukan sebuah revitalisasi ataupun rekonstruksi makna mendalam dalam upaya pembumian nilai-nilai Pancasila. Jangan sampai apa yang telah dirumuskan secara mati-matian oleh Founding Fathers bangsa hanya akan menjadi sebuah makna semu tanpa implementasi. Negara memiliki peran penting dalam penggalakan rekonstruksi sesuai logika filsafat Pancasila. Perlunya sinergitas antara Pemerintah dan Rakyat untuk membumikan nilai-nilai Pancasila yang mulai usang, pengembalian artian sila pertama hingga kelima tidak bisa dilakukan secara instan, perlu proses yang panjang dalam membangun kesadaran kolektif bahwa Pancasila merupakan faktor pemersatu bangsa. Rekonstruksi nilai-nilai Pancasila akan terlihat jelas apabila bangsa Indonesia sudah tidak mendengar lagi kabar yang tersiar mengenai masalah intoleransi, ketidakadilan, arti demokrasi yang kabur, ketimpangan sosial, dan beragam masalah yang lain. Juga yang perlu dipahami adalah bahwa bangsa Indonesia bukanlah milik golongan tertentu. Bangsa Indonesia milik orang-orang yang berusaha keras melawan penjajahan dan ketidakadilan.
No comments:
Post a Comment