Namaku Didi, Usiaku 12 tahun dan sekarang duduk di bangku kelas 2 SMP. Aku tinggal bersama kakekku. Ayahku telah meninggal sejak aku masih dalam kandungan, disusul oleh ibuku yang juga meninggal saat aku berusia 2 tahun. Sulit bagiku untuk menjalani hidup di tengah masyarakat dengan keadaanku saat ini, mereka memang memaklumi dan tidak pernah mengecamku. Setelah di diagnosa mengidap HIV genetika, hidupku terasa semu, tak ada yang Aku harapkan lagi di dunia ini, entah itu cita-citaku sebagai seorang polisi, atau sebagai seorang yang berhasil, memiliki teman sejati atau menikahi wanita cantik ketika aku dewasa.
Ya, semuanya hilang begitu saja. Aku tak habis pikir mengapa dulu ibuku bisa melakukan hal yang hina itu. Pekerja Seks Komersil (PSK) tanpa memikirkan akibat yang akan dia hadapi. Sekilas terbesit di pikiranku mungkin itu jalan satu-satunya untuk menghidupi aku semenjak ayahku meninggal. Tetapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk semua ini.
Ketika aku kecil, dokter mengatakan pada kakek bahwa gejala-gejala yang ditimbulkan virus HIV di tubuhku terlihat setelah 10 tahun mendatang disertai dengan gejala-gejala kecil sebelumnya. Itulah yang menjadi alasan mengapa kakek menjagaku dengan ketat karena takut aku jatuh sakit, karena bagi para penderita HIV jenis penyakit ringan seperti flu saja akan menjadi beban berat karena hidung akan terus menerus mengeluarkan air tanpa henti, hal itu disebabkan karena sel darah putih yang tidak mampu bekerja maksimal sebagai imun tubuh. Meskipun pada saat itu aku juga sering jatuh sakit, sel darah putihku masih dalam kategori aman, tetapi di Usiaku yang ke 12 ini, terpaksa aku harus siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi pada tubuh ini.
Suatu hari, aku memutuskan untuk berhenti sekolah, karena sepertinya mulai saat itu aku harus menjalani hari-hariku di rumah. Rasanya bosan sekali, tidak ada teman selain kakek yang setia menemaniku. Aku hanya mampu melihat dunia dibalik jendela kamarku, terkadang aku hanya dapat menikmati sinar matahari pagi yang masuk lewat celah-celah kamar.
1 minggu sudah aku menjalani hidup seperti ini, hari demi hari sepertinya akan begini, bahkan kiranya sampai kematian menjemputku. Aku hanya bisa melamun memandang langit-langit kamar, hatiku selalu bergejolak dan otakku dipenuhi pertanyaan yang kian membuncah, mengapa aku harus begini !? Aku tak pernah melakukan apapun yang merugikan orang lain, mengapa harus aku yang seperti ini, aku iri pada mereka yang bisa menjalani hidupnya dengan normal. Aku tak bisa terus seperti ini ! Air mata mengalir deras jatuh ke pipiku, sambil terisak-isak aku menyeka air mataku.
Tiba-tiba terdengar seseorang membuka pintu. Ya, itu pasti kakek !, lalu siapa lagi yang sudi datang ke rumah ini. Aku harus segera menghapus air mataku karena tak ingin kakek sedih melihatku. “Didi ? lihat siapa yang datang !” ujar kakek sambil mengetuk pintu kamarku. “Ya, siapa ?” tanyaku dari dalam kamar. “Bukalah pintunya” pintanya. Akupun membuka pintu kamarku dan melihat bu Fitri guruku di sekolah ada di rumahku. Bagaimana bisa ? Sontak, aku terkejut dan langsung menutup kembali pintu kamarku. Kakek meminta agar aku kembali membuka pintunya, namun bu Fitri meminta dia untuk tidak memaksaku. Akhirnya, tak lama kemudian bu Fitri pergi meninggalkan rumahku.
Aku termenung memandang foto Ayah yang saat ini sedang Aku pegang. Andai ia masih hidup, Aku pasti tidak akan seperti ini.
“Di….” terdengar suara Kakek lembut di telingaku. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku. “Bersikaplah baik pada setiap orang meskipun keadaanmu sedang tidak baik” ujarnya sembari mengelus rambutku. Aku pun mengangguk dan mengerti apa maksudnya. “Ohh iya, tadi gurumu memberikan ini” tambahnya lagi sembari memberikan seperangkat alat melukis yang diberikan bu Fitri untukku. Aku mengambilnya dan meletakanya di dekat lampu tidurku. “Sekarang kamu tidur, istirahat yang cukup dan jangan sampai kelelahan” perintah kakek sembari mematikan lampu kamarku.
Keesokan harinya…
Sinar matahari pagi mengenai wajahku melalui celah kamar. Aku terbangun dari tidurku dan sedikit melamun memandang langit-langit kamar. Aku membalikan posisi tidurku dan melihat pemberian bu Fitri yang aku simpan di dekat lampu tidurku semalam. Bosan rasanya bila hanya memandangnya saja, Akupun mulai melukis hal-hal yang ada di pikiranku. Sebenarnya Aku tidak begitu suka melukis.
Tak lama kemudian, kakek memasuki kamarku dan membawakanku sarapan. Ia menghampiriku dan duduk di sampingku. “Lukisan apa itu ?” tanyanya. “Spectrum” jawabku singkat. Hanya karena garis warna-warni yang aku gambar, aku menyebutnya spectrum, padahal aku tidak tahu itu lukisan apa, benar-benar absurd.
“Begitu yah, indah sekali” ujar Kakek sembari memujiku dan seperti mencoba membuat aku senang, aku hanya diam tanpa menghiraukanya. “Jangan lupa untuk menghabiskan sarapanmu, kakek hendak pergi ke luar sebentar” Ia pun meninggalkan rumah.
Saat itu aku memerhatikan segelas susu yang ada di atas lemari buku, lalu aku melukisnya. Warnanya putih, sedikit lebih kental dibanding dengan air jernih, rasanya manis dan banyak orang menyukainya. Bagaimana caranya aku bisa melukiskan segelas susu itu dengan semua makna yang ada di dalamnya ? Aku bertanya-tanya dalam hati sembari fokus melukis dengan memerhatikan gelap terangnya. Sejak saat itu aku suka melukis. yang ada dipikranku tentang melukis adalah bukan hanya melukis saja, tetapi juga berusaha menyimpan makna tersirat di dalamnya.
Aku juga melukis pohon mangga yang ada di balik jendela kamarku. Pohon yang hidup dari akar, kokoh dengan batang, rindang dengan dedaunan dan indah dengan buah. Semua yang aku gambar harus memiliki makna.
Suatu hari, aku sedang melukis aurora di ruang tengah rumah. Warna-warninya memiliki makna keceriaan yang mungkin hanya ada pada khayalanku. Awalnya aurora itu aku lihat di televisi dan rupanya indah bila dilukis.
Tak lama kemudian kakek datang bersama bu Fitri. Aku tak pernah menyangka kalau guru yang satu ini tidak pernah takut denganku, dia sangat baik hingga datang berkali-kali untuk menjengukku. Anehnya, dia tidak pernah kapok dengan sikap dingin dan acuhku. “Didi….” gumamnya, namun aku terus melukis tanpa menghiraukanya.
“Kamu ingin dengar sesuatu ?” tanyanya sembari membujuku lembut, namun Aku tetap tidak menghiraukanya. “Ada seorang seniman yang pandai melukis, ia sangat sukses dalam meniti karirnya. Suatu hari ia kehilangan tangan kananya, namun dia berusaha melukis dengan tangan kirinya. Tetapi, sesuatu terjadi lagi, ia kembali kehilangan tangan kirinya sehingga dia berusaha untuk bisa melukis dengan kakinya. Tapi semua itu tidak pernah membuatnya berhenti berkarya, dan ia tetap akan terus berkarya” mendengarnya, aku langsung melihat ke arah nya, aku mencoba mendengarnya.
“Kau tahu apa yang dapat menghentikan seseorang untuk berkarya ?” tanyanya. Aku menggelengkan kepalaku. “Hanya hati, pikiran dan kemauan yang mampu menghentikan seseorang untuk berkarya. Kamu masih memiliki semua itu, dan kamu masih bisa bertahan sampai saat ini. Selama kamu masih memiliki hati, pikiran dan kemauan, jangan pernah takut untuk berkarya. Tidak seorang pun yang bisa membatasimu. Imajinasi itu tiada batas” Seketika ucapanya membuat air mataku menetes. Aku salah tentang kehidupanku selama ini, seharusnya aku tidak takluk dengan keadaan.
Motivasi itu memacu diri ini untuk maju, aku tidak perduli sampai kapan aku hidup, yang jelas aku hanya ingin memanfaatkan waktu hidup ini dengan berkarya tanpa batas. Aku mulai menemukan hobi ku, ya dari melukis itulah aku mulai menekuninya. Hingga suatu hari, lukisanku laku di pasaran. Bahkan ada pengusaha kondang yang melelang lukisanku dengan harga Rp.100 juta.
Aku mulai menggeluti hobiku dan memamerkan lukisan-lukisanku setiap kali ada acara pameran. Perlahan, aku mulai bangkit dari keterpurukan, aku ingin membuat kakek bangga dengan apa yang aku lakukan.
Syifa Syarifa
Mahasiswa PPKN 2017